Agama untuk Apa?      

~Script Narasi Video~

Bumi ini disediakan oleh Sang Maha Pencipta untuk semua manusia.

Setiap manusia memiliki hak yang sama pula untuk menghuni dan memanfaatkannya.

Keragaman suku, budaya, dan tradisi adalah kekayaan yang diciptakan pula oleh Tuhan. Juga agama.

Keragaman itu ada untuk mendorong integrasi sosial, bukan untuk memecah belah.

Karena itu…

Toleransi dan penghargaan terhadap orang lain adalah pilihan sikap terbaik dalam kehidupan beragama di tengah keragaman tersebut.

Dan misi utama agama adalah terwujudnya kehidupan rukun, damai, sejahtera bagi manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.

Komunitas dan kelompok agama menempati posisi strategis dan peran penting dalam kehidupan berbangsa.

Komunitas agama adalah modal sosial yang harus didorong untuk berperan aktif dalam pemajuan kehidupan sosial masyarakat.

Dan karena itu, mereka harus peduli dengan masalah sosial di luar isu-isu agama.

Sila cek videonya

Gerakan Reformasi dan Nyawa-nyawa yang Melayang

Tag

, , ,

Gerakan reformasi adalah momentum penting perjalanan peradaban bangsa dari era otoritarianisme yang serba gelap menuju era demokrasi yang menjanjikan harapan perubahan ke arah yang lebih memanusiakan warganya.

Namun, momen gerakan reformasi tak hanya berisi kisah kepahlawanan para mahasiswa pejuang. Ia juga menjadi titik sejarah yang memunculkan betoro kolo dan meruyak hidup dan kehidupan banyak orang, merenggut banyak nyawa. Tak bisa dibayangkan, seperti yang disebut dalam hasil riset Yayasan Denny JA untuk Indonesia tanpa Diskriminasi, dari tahun 1998-2011, selama 14 tahun, terjadi 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi di Indonesia.

Mungkin sebagian besar kasus itu terkubur oleh waktu, dan tak dialami langsung oleh generasi dominan saat ini. Sebagian tanpa penyelesaian tuntas dan menggantungkan misteri. Sebagian lain masih menyisakan trauma berkepanjangan. Sebagian lain bahkan masih terjadi dan menjadi pilihan cara menyelesaikan masalah di antara sesama.

Denny JA merekam lima jenis konflik dan kerusuhan yang dianggap paling krusial dalam perjalanan era reformasi, yakni: Kerusuhan Rasial Jakarta, Mei 1998; Kerusuhan Sampit 2001, Suku Dayak Versus Suku Madura; Konflik Etnis Lampung VS Etnis Bali, 2012; Kasus Ahmadiyah di NTB, 2006-2022; dan Konflik Maluku, 1999-2002 Rekaman ini berupada 25 kisah dramatik yang ditulis dalam bentuk puisi esai, Jeritan Setelah Kebebasan.

Lima jenis konflik dan kerusuhan yang menandai salah satu puncak terbawah sejarah Indonesia itu nampak sangat menyakitkan, bahkan untuk sekadar diceritakan kepada anak cucu. Ichsan Malik, seorang fasilitator perdamaian yang terlibat langsung dalam berbagai konflik, bahkan menuturkan, setelah membaca buku Jeritan Setelah Kebebasan ini, sontak bereaksi: “…mulut agak terasa pahit, dada terasa agak sesak, dan kepala agak berdenyut-denyut.” (Kedamaian Setelah Jeritan dan Kebebasan).

Lalu mengapa Denny JA mengangkatnya menjadi tema dari 25 puisi esai yang dibukukan dalam Jeritan Setelah Kebebasan? Mengapa kisah tragis dan penuh kengerian ini harus diangkat lagi ke permukaan?

Denny JA memiliki jawabannya sendiri. Baginya, kisah-kisah yang telah mengorbankan lebih dari 10.000 nyawa manusia Indonesia itu terlalu kelam untuk dikenang, namun terlalu penting untuk dilupakan. Yang terpenting adalah, bagaimana kita bisa mengolah peristiwa itu menjadi pelajaran berharga?

Ia menolak lupa. Menolak menganggap bahwa peristiwa-peristiwa mengerikan itu tak pernah terjadi di bumi indah ini. Menolak untuk mengabaikan bahwa kemajuan peradaban kita hari ini tak lepas dari pengorbanan nyawa-nyawa itu.

Baginya, melupakan berbagai tragedi itu berarti membuang peluang untuk mengambil pelajaran berharga bagi peradaban bangsa ini. Menutupi sejarah kelam berarti justru menyia-nyiakan pengorbanan mereka-mereka yang tak seharusnya kehilangan nyawa.

Tak ada alasan apa pun yang bisa dijadikan dasar penghilangan nyawa manusia. Karena itu, tak ada alasan pula untuk tidak mengambil pelajaran dari nyawa-nyawa yang hilang tersebut.

Bagaimana Denny JA mengemasnya menjadi pelajaran bagi kita?

Ia memiliki senjata penting bernama puisi esai. Seperti disebutnya, puisi esai menjadi cara bertutur baru dalam mendokumentasikan kisah true story itu. Fakta-fakta mengerikan itu. Berbeda dengan penulisan sejarah atau jurnalisme, puisi esai menambahkan drama dan fiksi. Gabungan dari olah fakta dan fiksi dramatik memungkinkannya menyajikan catatan sejarah dan sekaligus menghadirkan narasi pembelajaran penting dari sejarah tersebut.

Mengapa diperlukan fiksi untuk mengisahkan true story? Bagi Denny, sepotong sejarah akan lebih mudah diingat, lebih menyentuh jika dikisahkan melalui drama yang menyentuh.

Racikan inilah yang menurut Isbedy Stiawan ZS menjadi kekuatan buku ini. Denny JA “seperti memiliki ‘100 mata’ untuk melihat, mengamati, sekaligus menentukan sudut yang pas untuk menulis kisah-kisah dramatik tersebut.” (‘Konflik Balinuraga’ dalam Puisi Esai Denny JA).

Konflik dan kerusuhan itu adalah pengalaman traumatik, bukan hanya bagi korban, namun juga bagi aktor dan pelaku. Setelah sekian lama berjarak dengan peristiwanya, setelah terbangun kesadaran kolektif bahwa konflik tak menghasilkan apa-apa selain kehancuran, banyak pelaku yang kemudian justru tersiksa, dihantui rasa bersalah berkepanjangan.

Inilah yang disebut oleh Jacky Manuputty dalam buku ini sebagai titik balik. Syair-syair Denny JA menawarkan pendekatan yang utuh dengan memotret proses transformasi aktor dari konflik ke perdamaian. Kisah-kisah titik balik adalah bentuk narasi damai yang inspiratif, memiliki dampak dan daya tarik yang sama dengan drama konflik.” (Biarlah Rebana dan Totobuang Kembali Bersanding).

Dalam jarak waktu yang cukup jauh sekarang ini, kita pelan-pelan menyadari bahwa para korban di era reformasi itu tidak tahu apa yang membuat mereka dibunuh, diperkosa. Apa yang menyebabkan rumah-rumah mereka dirusak tanpa belas kasihan. Tak ada satupun alasan yang bisa diterima akal mengapa di negeri yang damai ini, kemarahan dan kebencian bisa tiba-tiba merasuki manusia-manusia beradab.

Begitu juga dengan para aktor dan pelaku yang merusak, memperkosa, dan membunuh sesamanya. Banyak dari mereka tidak benar-benar menyadari atas alasan apa mereka melakukan itu semua. Atas dasar apa mereka memiliki kewenangan untuk menghilangkan nyawa manusia lain.

Buku di hadapan Anda ini adalah kumpulan tanggapan langsung terhadap 25 kisah dramatik dalam bentuk puisi esai yang ditulis oleh Denny JA. Para penulis buku ini merepresentasikan berbagai sudut pandang yang diharapkan memperkaya pembaca, yang terlibat maupun tidak terlibat langsung dengan konflik dan kerusuhan yang dialami bangsa ini.

Mengutip Anis Hidayah dalam buku ini (Luka yang Terus Menganga), Buku ini bukan sekadar karya sastra. Ketika sejarawan tak mampu mengeja peristiwa kelam pelanggaran HAM, buku ini hadir sebagai referensi untuk mengisi rumpang sejarah yang pernah terjadi. Sehingga buku ini penting untuk dibaca, terutama generasi muda yang lahir pasca 1998. Kisah-kisah yang ada dalam buku esai puisi dengan latar 5 tragedi pelanggaran HAM di Indonesia ini ditulis seakan bernyawa. Pesan-pesan tentang impunitas, trauma para korban, dan lemahnya perlindungan negara sangat kuat dalam buku ini.“

Buku ini sekaligus adalah upaya kecil untuk merawat memori, lalu mengambil pelajaran berharga dari apa pun yang telah mewarnai perjalanan bangsa yang besar ini. Bahwa nyawa-nyawa yang telah melayang itu tak boleh menjadi sia-sia.[]

Tulisan ini adalah Pengantar Editor untuk buku tanggapan terhadap buku puisi esai Denny JA: Jeritan Setelah Kebebasan.

Dimuat juga di: Inilampung

Wahhabi, Sufisme, dan Penghancuran Budaya

Tag

,

Jika Anda termasuk orang yang percaya bahwa sufisme dan ajarannya adalah pemaknaan yang benar terhadap Islam, sudah bisa dipastikan Anda bukan pengikut Wahhabi. Jika Anda adalah orang yang percaya bahwa salah satu pencapaian kecintaan Anda kepada Allah adalah melalui jalan tarekat, Anda harus tahu bahwa ada satu kelompok strategis dalam Islam yang selalu memusuhi apa yang Anda percayai. Bagi mereka, tradisi yang dikembangan oleh sufisme dan tarekat penuh dengan kesyirikan.

Jika Anda percaya bahwa Islam pada prakteknya harus berkawan dengan tradisi, sudah pasti Anda juga bukan penganut Wahhabisme. Apalagi jika Anda termasuk orang yang percaya, ada jalan perantara yang harus ditempuh untuk melakukan relasi kepada Allah, sudah barang tentu kelompok tersebut akan memusuhi Anda dengan jargon bid’ah dan syiriknya.

Dan kelompok ini bukan kelompok pasif. Meski lahir dari kelompok pinggiran, Wahhabisme berhasil membangun aliansi strategis dengan Ibn Sa’ud yang kemudian dalam sejarahnya berhasil membangun kekuatan dan mendirikan Saudi Arabia.

Hingga kini, intrusi ideologi ke berbagai penjuru dunia dilakukan, sebagai bagian dari misi mengambalikan Islam sebagaimana mestinya. Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri merasa bahwa apa yang diyakini oleh umat Islam selama 900 tahun sebelumnya adalah ajaran yang salah, karena itu perlu diluruskan. Konsekuensi pelurusan inilah yang kemudian menghalalkan perampasan, penjarahan, pembunuhan, dan penghancuran. Bagi mereka, selain penganut Wahhabi adalah kaum musyrik, dan memerangi mereka bukan saja boleh, melainkan wajib. Karena itu, menumpahkan darah mereka, menjarah harta mereka dan menjadikan perempuan dan anak-anak mereka sebagai budak adalah tindakan yang dibenarkan.

Itulah yang mereka lakukan di Karbala tahun 1802 dan di Thaif 1803.

Bersama dengan penaklukannya terhadap Makkah dan Madinah pada 1806, mulai pula proyek penghancuran terhadap situs-situs bersejarah umat Islam, termasuk makam para keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW. Apa yang dilakukan mereka? Saya kutipkan sedikit dari buku Hamid Algar ini:

“Di Mekkah, kubah yang terdapat di atas rumah-rumah yang dikenal sebagai tempat kelahiran Nabi, Khadijah al-Kubra, Imam ‘Ali, dan Abu Bakr al-Shiddiq, dihancurkan. Selain itu, makam-makam dan mushalla-mushalla yang terdapat di tempat pemakaman bersejarah al-Ma‘la diratakan dengan tanah. Di Madinah, aset-aset yang terdapat di Masjid Nabi dijarah, namun upaya untuk menghancurkan kubah yang menaungi makam Nabi tidak dilakukan tatkala secara misterius beberapa orang yang ditugasi untuk melakukan penghancuran itu terjatuh hingga mati.

Namun, seluruh bangunan dan nisan di lokasi pemakaman yang dikenal sebagai Jannah al-Baqi‘, yang terhubung dengan Masjid Nabi, dihancurkan. Di sana terdapat makam para istri dan sahabat Nabi, beberapa Imam Ahl al-Bayt, dan beberapa tokoh dalam sejarah intelektual dan spiritual Islam.“

Itu pula yang terjadi ketika untuk kedua kalinya kelompok ini berhasil menaklukkan kembali Makkah dan Madinah di tahun 1924-1925. Di tahun 1926, tercatat tak kurang 7.000 makam dihancurkan, termasuk makam keluarga dan sahabat Nabi. Saat itu makam Nabi Muhammad sendiri juga terancam dihancurkan. Makam Nabi terselamatkan oleh protes besar dari muslim di banyak negara di dunia. Inilah yang juga memunculkan respons penting dari para ulama Indonesia yang membuat Komite Hijaz, komite khusus yang dikirim ke Makkah untuk melakukan lobi dengan beberapa agenda terkait kepentingan umat Islam di luar kelompok Wahhabi, termasuk soal tempat-tempat bersejarah.

Dalam buku ini juga diungkap tindakan-tindakan perusakan atau vandalisme yang dilakukan kaum Wahhabi terhadap monumen-monumen Islam di Kosovo, Chechnya, dan Hadramaut. Hingga hari ini, kitapun masih mendengar bahwa proyek penghancuran “situs-situs pengundang kesyirikan” masih terus berlanjut dan memunculkan keprihatinan kaum muslim di berbagai belahan dunia.

Buku ini merekam perjalanan Wahhabisme, sejak kelahiran pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab, hingga berakhirnya rezim Taliban, rezim yang terkait dengan gerakan Wahhabisme. Buku ini ditulis dengan nada kritis, meskipun penulisnya membeberkan fakta-fakta sejarah yang relatif objektif. Algar sendiri mengakui ketidaksukaannya terhadap ideologi dan gerakan Wahhabisme.

Meski buku ini sangat tipis, namun ia memotret perjalanan kronologis wahhabisme secara lengkap dan menarik, termasuk potensi konflik internal dalam aliansi Wahhabi-Saudi, sejarah relasi kelompok ini dengan pemerintah Inggris, pembentukan Liga Dunia Muslim sebagai bagian dari agenda penyebaran ideologi wahhabisme, dan legitimasi mereka terhadap pengeboman WTC di New York.[]

Anick HT

== 

Judul: Wahhabisme; Sebuah Tinjauan Kritis

Penulis: Hamid Algar

Penerjemah: Rudy Harisyah Alam

Dicetak pertama kali dalam versi Inggris tahun 2002. Edisi cetak Bahasa Indonesia oleh Yayasan Paramadina, 2008. Edisi digital dibuat oleh Democracy Project, 2011.

Gus Menteri dan Baha’i

Jika Anda bertemu dengan pejabat negara, terutama pejabat Kementerian Agama, sempatkanlah bertanya: adakah klausul dalam regulasi negara ini yang menyatakan dan menyebut istilah “agama resmi” atau “agama yang diakui” negara?

Saya melakukannya berkali-kali. Dan tidak ada jawaban yang solid dan meyakinkan untuk menyatakan bahwa enam agama itu adalah agama resmi atau agama yang diakui.

Lalu mengapa mayoritas orang di Indonesia secara spontan akan menjawab enam jika ditanya jumlah agama di Indonesia? Mengapa kebanyakan kantor kementerian agama di semua wilayah berhiaskan enam simbol agama? Mengapa masih banyak acara-acara resmi negara bertajuk dialog antaragama hanya menyertakan representasi enam agama? Mengapa laporan sensus penduduk hanya mengkategorikan mereka dalam satu entitas: (agama) lainnya?

Tepat di situlah masalahnya sehingga ucapan Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas kepada penganut Baha’i saat ini menjadi momentum penting. Ucapan Menteri Agama pada perayaan Naw Ruz umat Baha’i Maret 2021 lalu memunculkan polemik hari-hari ini.

Dalam ranah hukum Indonesia, tidak ada satu pun undang-undang yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia hanya mengakui eksistensi enam agama di Indonesia.

Pemahaman tentang pengakuan enam agama ini didasarkan pada penafsiran yang keliru atas salah satu penjelasan dalam UU PNPS No. 1 tahun 1965 yang menyebutkan bahwa: “Agama yang dianut di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.”

Dan penyebutan nama-nama agama itu hanyalah penulisan contoh nama agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dalam penjelasan itupun dinyatakan bahwa tidak berarti penganut agama di luar 6 (enam) agama yang disebutkan di atas dilarang di Indonesia, melainkan tetap mendapatkan jaminan dan perlindungan yang sama berdasarkan konstitusi.

Ketika UU PNPS tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review, Mahkamah Konstitusi juga memberi penegasan lain. Dalam Putusan MK RI Nomor 140/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap enam agama, akan tetapi mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia.

Kartu tanda penduduk

Posisi kesetaraan yang sedemikian gamblang itu tidak termanifestasi dalam praktik lapangan. Dalam implementasinya, selama masa Orde Baru (untuk tidak mengatakan hingga saat ini), melalui Departemen Agama (Kementerian Agama), pemerintah hanya melayani enam agama yang dimaksud, dan kebijakan kolom agama dalam KTP juga harus diisi satu dari enam agama tersebut. Sementara, penghayat kepercayaan “dilayani” sebagai organisasi kultural, di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Kementerian Pendidikan Nasional.

Dan inilah titik mula istilah “agama yang diakui” masuk dalam benak para pemangku kebijakan: yakni kolom agama dalam KTP. Satu-satunya aturan yang secara eksplisit menyebut agama resmi adalah Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978. Surat ini adalah tentang Tata Cara Pengisian Kolom Agama dalam KTP.

Tentang Surat Edaran ini pun, Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, dalam pidato tertulis di hadapan peserta Konferensi Tokoh Agama ICRP awal Oktober 2009, menyatakan bahwa Surat Edaran itu seharusnya hanya berisi petunjuk teknis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu. Tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri.

Sampai kemudian di masa reformasi lahirlah Undang-undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) Nomor 23 tahun 2006, yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 Administrasi Kependudukan.

UU Adminduk ini di satu sisi adalah angin segar bagi penghayat kepercayaan karena ada klausul bahwa “bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”. Dengan kebijakan ini, agama non-enam dan penghayat kepercayaan terbebas dari “memilih satu dari enam agama” yang selama ini diberlakukan.

Namun klausul itu pula yang menegaskan kecerobohan pembuat Undang-undang karena mencantumkan istilah “agama yang belum diakui”. Klausul inilah yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016, setelah dilakukan Judicial Review. Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa, pengakuan agama yang terbatas tersebut bertentangan dengan tujuan negara untuk menciptakan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di mata hukum bagi seluruh warga negaranya. 

Sampai di sini kita bisa kembali bertanya: apakah ucapan selamat Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas konstitusional?

Menteri semua agama

Hakimul Ikhwan, Dosen Sosiologi UGM, dengan antusias merespons tindakan Gus Menteri itu menyalahi posisinya sebagai Menteri Agama dan representasi pemerintah. Sambil menegaskan bahwa pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama, menurutnya, tidak ada masalah jika Gus Yaqut mengucapkannya atas nama pribadi.

Respons seperti ini justru menegaskan bahwa persoalan kesetaraan wara negara, terutama terkait hak dan kebebasan beragama di Indonesia masih membutuhkan perjuangan Panjang. Alih-alih mendorong Menteri Agama untuk mengakui dan melindungi semua agama yang ada di Indonesia, seorang akademisi bisa bersikap diskriminatif dan melanggengkan favoritisme atas dasar agama seperti itu.

Fitrah negara adalah berdiri di atas semua golongan. Negara harus netral agama, netral suku, netral ras. Favoritisme, pengutamaan satu kelompok tertentu di atas kelompok yang lain sudah jelas diskriminatif. Pembatasan jumlah agama yang sah/diakui juga melawan realitas yang sudah terlanjur ada dalam negara ini. Adalah fakta yang tak mungkin dibantah bahwa selama ini pembatasan tersebut pada tingkat implementasi kebijakannya berwujud pemaksaan negara terhadap warganya yang bukan penganut enam agama tersebut untuk melakukan hipokrisi dengan mencantumkan identitasnya dalam KTP dengan salah satu dari enam agama tersebut. Adalah kenyataan empirik bahwa ada puluhan juta penganut Sikh, Baha’i, Tao, Yahudi, penghayat kepercayaan, dan agama-agama lokal yang bahkan sudah ada sebelum enam agama itu ada, yang selama ini menjadi korban pembatasan ini.

Dengan demikian, bukan hanya konstitusional, ucapan Menteri Agama selamat kepada hari raya Baha’i ini adalah sikap penting yang seharusnya dilakukan. Malah, perlu kita dorong lebih jauh menjadi penegasan netralitas agama. Seharusnya Gus Menteri didukung untuk memberi ucapan selamat kepada segenap penganut Sikh, Tao, Yahudi, dan penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia.

Sekali lagi, Menteri Agama adalah menteri semua agama.[]

Tulisan ini dimuat di harian Media Indonesia, Rabo, 4 Agustus 2021.

Konteks: Pada Maret 2021, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuat video resmi ucapan selamat Hari Raya Naw Ruz yang dirayakan oleh umat Baha’i di Indonesia. Belakangan, ucapan itu menimbulkan polemik dan gugatan beberapa pihak kepada Menteri Agama. Baha’i dianggap bukan agama yang diakui di Indonesia.