MAJALAH TEMPO No. 51/XXX/18 – 24 Februari 2002

Laporan Utama

Tim Jibril, Al-Qaidah dari Solo?

Menurut sebuah dokumen, teroris Indonesia menyerang tiga sasaran di luar negeri. Banyak yang curiga itu dokumen palsu.

PERANG Jihad Asia Tenggara, Melawan Terorisme Amerika Serikat dan Yahudi”. Judul mengerikan ini tertera di halaman pertama sebuah dokumen 15 halaman yang membuat geger pemerintah Jakarta. Entah mengapa, berita temuan dokumen itu justru muncul di koran Singapura, The Straits Times, Senin pekan lalu. Menurut koran itu, ada sekelompok teroris anggota Jamaah Islamiyah Indonesia yang merencanakan serangan ke Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Singapura, Malaysia, dan Indonesia pada 4 Desember tahun lalu.

Dokumen ini diteken pada 28 September 2001 oleh dua orang yang menyebut diri sebagai Abu Hanafiah dan Fikri Sugondo, ketua dan sekretaris Majelis Pimpinan Jamaah Islamiyah, yang beralamat di Kampung Wetan Nusukan No. 65 RT 05/RW 07, Solo.

Ceritanya, ada tiga tim dengan nama sandi Jibril yang akan beraksi di tiga negara tadi. Rencana operasi mereka disusun rapi dan detail, lengkap dengan skenario penyelamatan diri seandainya misi gagal. Salah satu anggota tim yang juga disebut adalah Fathur Rahman Al-Ghozi, anak Madiun yang ditangkap polisi di Manila, Filipina, 15 Januari silam, dengan tuduhan memiliki paspor ganda dan bahan peledak seberat satu ton. Dia diplot sebagai salah satu pembantu Tim Jibril-1 yang akan meledakkan Kedutaan Besar AS di Singapura.

Temuan dokumen ini seakan-akan menjadi “benang merah” antara Indonesia dan gerakan terorisme internasional yang banyak dipersoalkan belakangan ini. Terutama, sejak Amerika “menekan” negara-negara di Asia Tenggara agar ikut memerangi aksi terorisme setelah 11 September tahun lalu World Trade Center dan Pentagon ditabrak pesawat teroris dan sekitar 3.000 orang tewas. Sejak Desember tahun lalu, pemerintah Singapura, Malaysia, dan Filipina, telah menangkap lebih dari 30 orang aktivis gerakan Jamaah Islamiyah yang disebut-sebut sebagai mata rantai Al-Qaidah di kawasan ini. Sampai sekarang pun Amerika masih melancarkan Operasi Mempertahankan Kebebasan di Basilan, Filipina.

Masalahnya, benarkah Indonesia punya keterkaitan dengan Al-Qaidah? Sahihkah Dokumen Perang Jihad itu?

Derwin Pereira, wartawan The Straits Times, mengaku mendapatkan dokumen dari jaringan yang dekat dengan kalangan Jamaah Islamiyah. “Bukan dari intel Indonesia, bukan dari Hendropriyono (Kepala Badan Intelejen Negara), bukan pula dari intel asing,” kata Pereira. Dokumen tersebut sudah lama dia dapatkan. Hanya, karena dia harus melakukan check and recheck, baru pekan lalu dimuat korannya.

Menurut Pereira, dokumen itu 70 persen benar. Yang membuat Darwin yakin dokumen itu benar, ada detail-detail perencanaan, ciri khas dokumen Al-Qaidah. Itu pula yang membuat dia percaya adanya kerja sama antara Jamaah Islamiyah dan Al-Qaidah. “Dokumen yang kami kita lihat di Kandahar (Afganistan) hampir sama,” ujarnya. Pereira juga menyatakan bahwa dokumen yang dia dapat tersebut menggunakan bahasa Arab dan Indonesia.

Pereira mengaku sudah mengecek kebenaran dokumen itu sampai ke Kampung Nusukan, Solo, Jawa Tengah, lokasi yang disebut sebagai markas Jamaah Islamiyah. Tapi ia tak me-nemukan apa-apa. “Mereka (orang-orang Jamaah Islamiyah) sudah keluar dari Solo,” kata Pereira. Menurut Darwin, Jamaah Islamiyah memiliki dua markas, yaitu di Solo dan Tasikmalaya. Tetapi sekarang kebanyakan mereka sudah di mana-mana. “Indonesia sangat besar. Sulit untuk melacak mereka. Kemungkinan besar mereka bukan orang asli Solo,” ujarnya.

Kendati demikian, baik polisi maupun kalangan intelijen dalam negeri meragukan keaslian Dokumen Operasi Jihad itu. Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, mengatakan bahwa setahu dia gerakan bawah tanah Indonesia tidak pernah menggunakan dokumentasi. Sumber TEMPO, seorang perwira intelijen senior, menambahkan bahwa gerakan Islam garis keras Indonesia tak pernah menuliskan rencana operasinya, apalagi secara detail. Apa yang diputuskan dalam rapat biasanya hanya dicatat dan diingat dalam kepala mereka yang hadir. “Menurut pengalaman kami, hal-hal yang berisiko bocor itu tak pernah didokumentasi sedemikian detail,” katanya. Selain itu, menurut Kapolri Jenderal Dai Bachtiar, berdasarkan penyelidikan intelijen Polri, belum ditemukan secara signifikan adanya jaringan terorisme internasional di Indonesia. “Kalau kegiatan orang teror-meneror, ada banyak di sini,” kata Dai.

Karena itu, Komisi I DPR RI justru akan bereaksi terhadap pemberitaan The Straits Times. Menurut Yasril Ananta Baharudin, anggota Komisi I, pihaknya mendesak agar pemerintah paling tidak melakukan counter-release, dan kalau perlu menuntut koran tersebut seandainya setelah diklarifikasi ternyata kabar itu tidak benar. “Saya mendesak pemerintah untuk mempelajari sungguh-sungguh informasi yang dilansir Straits Times. Kalau nggak benar, ya, somasi aja,” kata Yasril kepada Adi Prasetya dari TEMPO.

Kalau dilihat dari isi dokumen, memang tampak ada beberapa kejanggalan. TEMPO, yang menelusuri Solo dan sekitarnya, tak menemukan kampung seperti yang tertulis di dokumen sebagai markas Majelis Pimpinan Jamaah Islamiyah. Sumanta, Kepala Kelurahan Nusukan, bahkan mengaku baru kali ini mendengar nama Kampung Wetan. “Kalau di Nusukan, yang ada itu Nayu Wetan,” katanya. Sumber TEMPO di Bagian Pemerintahan dan Otonomi Daerah yang pernah menginventaris nama kampung di Solo pada 1995 memperkuat keterangan Sumanta.

Demikian pula dengan nama Abu Hanafiah dan Fikri Suwondo, yang disebut dalam dokumen sebagai penanda tangan. Sukarno, 60 tahun, sesepuh Nusukan, mengaku belum pernah mengenal maupun mendengar dua nama tersebut di kampungnya. Data di Imigrasi Solo menunjukkan ada sebelas nama yang sama dengan salah satu anggota Tim Jibril-1, Muhammad Furqon.

Penulisan dokumen itu sendiri unik. Ia ditulis dengan bahasa pegon atau bahasa Melayu yang ditulis dalam huruf Arab. Pegon diakrabi oleh pesantren-pesantren terutama di Banten, Jawa Barat, dan kalangan Melayu lama. Huruf pegon berkembang karena banyak di antara kiai tua yang hanya bisa menulis dengan huruf Arab dan sama sekali buta huruf Latin.

Menurut Anick H.T., redaktur islamlib.com, tata cara penulisan pegon yang dipakai dalam dokumen Solo itu melenceng dari standar umum, baik tata cara penulisan Arab maupun dari standar bunyi yang dihasilkan oleh susunan huruf-huruf tersebut. Hampir semua kata yang dikandungnya mengandung kesalahan bunyi dan penulisan umum. Artinya, kalau dokumen tersebut dibaca menurut standar yang benar, akan banyak sekali kata yang tidak diketahui. Contohnya, kata “Amerika” yang seharusnya ditulis memakai huruf hamzah-mim-ya-ra-ya-kaf-alif, tertulis “amzah-mim-ra-kaf”.

Dari sisi penulisan, menurut Anick kepada Arief Kuswardono dari TEMPO, pembuatnya mungkin berasal dari kalangan tua, tidak terdidik, dan tidak akrab dengan kultur tulisan Arab Qurani. Kelompok ini hanya memakai huruf Arab sebagai media komunikasi tertulis biasa. Kemungkinan lain, penulis mempelajari huruf Arab ketika sudah dewasa, dan tidak akrab dengan dunia akademik Islam. Bisa juga, penulis sengaja memelesetkan cara penulisan agar konsumsi dokumen terbatas di kalangan mereka, dan fungsi dokumen hanya sebagai pengingat. “Ada kemungkinan dokumen ini ditulis oleh orang yang mempelajari huruf Arab pada tingkat permukaannya saja, untuk kepentingan politis,” Anick, lulusan lulusan Sastra Arab IAIN Jakarta ini, mengambil kesimpulan.

Sumber TEMPO dari kalangan intelijen menambahkan, dilihat dari bentuknya, dokumen tersebut tidak dibuat oleh aparat Indonesia, baik dari Badan Intelijen Strategis (Bais) maupun Badan Intelijen Negara (BIN). Ia justru mempercayai kecurigaan—belum ada bukti tentang ini—bahwa pihak luar yang merancang pembuatan Dokumen Jihad. Siapa? Amerika, katanya. Sebuah tuduhan yang perlu dibuktikan. Dubes Amerika Serikat di Jakarta hanya mengatakan temuan dokumen ini “serius dan bisa menyulitkan” (lihat Ralph L. Boyce: “Laporan itu Serius dan Menyulitkan”).

Selain itu, masih menurut sumber TEMPO, Amerika ingin membuktikan bahwa ucapannya tentang kekuatan Usamah bin Ladin dan jaringan Al-Qaidah-nya bukan omong kosong. Untuk itu Amerika perlu menciptakan se-banyak mungkin bukti ancaman dan peta jaringan kekuatan Al-Qaidah. Bukan tak mungkin, pada saatnya nanti Amerika—dengan alasan mengejar para pelarian teroris yang dikejarnya di Basilan—akan pula masuk wilayah Indonesia. “Ini persis kejadian penemuan Dokumen Gilchrist,” katanya. Gilchrist, yang ditemukan pada Mei 1965, menyebut seolah-olah ada dewan jenderal yang hendak menggulingkan Sukarno.

Penemuan dokumen yang ternyata omong kosong itu isinya memang bukan barang baru. Selain Gilchrist, di era Presiden Abdurrahman Wahid, banyak dokumen yang beredar dengan isi yang seram-seram, tapi kebanyakan tak terbukti kebenarannya. Misalnya Dokumen Bulakrantai, yang beredar pada tahun 2000 dan isinya menyiratkan ada sekelompok orang yang mau mendongkel kursi Presiden Abdurrahman. Semua itu isapan jempol belaka.

Kepala Bagian Humas Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Polisi Saleh Saaf, punya kecurigaan yang sama. Saleh menduga dokumen itu merupakan propaganda, dan tidak tertutup kemungkinan ada negara atau kelompok tertentu yang ingin menjatuhkan negara ini. Indikasi ini muncul seiring dengan diberitakannya adanya jaringan terorisme di Indonesia secara terus-menerus oleh pers Amerika.

Bercuriga memang gampang, tapi membuktikan Tim Jibril itu ada atau sekadar rekaan, itu yang lebih penting.

Wicaksono, P. D. Prabandari, Darmawan Sepriyossa, Imron Rosyid (Solo)

© tempointeractive.com