Sebuah pertanyaan pernah saya ajukan kepada seorang teman: “Kalau saat ini diberikan kepadamu uang sebesar 30 juta, dan disuruh memilih antara melakukan ibadah haji dan jalan-jalan ke Eropa, apa yang akan menjadi pilihanmu?” Tanpa ragu ia memilih ibadah haji. Tanpa ragu juga ia menjelaskan alasannya; status sosial.

Jawaban sederhana itu tampak wajar, karena menggambarkan realitas yang terjadi di masyarakat. Namun jika kita renungkan lebih jauh, justru di situlah letak masalahnya. Fatal akibatnya jika masyarakat memandang bahwa ibadah haji hanya bertujuan untuk pencapaian status sosial lebih tinggi, yang berarti harus didengar setiap ucapannya, harus dianggap benar setiap keputusannya. Apalagi jika seseorang melaksanakan ibadah haji tanpa mempedulikan tanggung jawab sosialnya sepulangnya dari Mekkah al-Mukarramah.

Islam mewajibkan ibadah haji hanya bagi yang mampu. Allah Swt mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan ketakwaannya, bukan hartanya. Jika kita menaikkan status sosial orang hanya karena ia mampu menjalankan ibadah haji, bukankah ini bertentangan dengan ajaran Allah Swt sendiri? Pandangan bermasalah semacam ini harus kita bongkar. Kaya atau miskin punya hak yang sama untuk dihargai. Status sosial harus diberikan kepada orang yang telah dengan jelas menunjukkan manfaat bagi orang lain. “Orang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain,” begitu Nabi Saw bersabda.