Judul Buku : Kuburlah Kami Hidup-Hidup
Pengarang : Anick HT
Penerbit : Indonesian Conference of Religion and Peace, Jakarta Tahun : 2014, Cetakan Pertama
Jumlah halaman : 168 halaman
ISBN : 978-979-18746-2-5
Harga Buku : Rp. 35.000,00
Peresensi : Ani Ema
Membaca dan memaknai puisi esai dari buku berjudul Kuburlah Kami Hidup-Hidup karya Anick HT membuat mata saya terbuka kembali, mengkaji lagi dunia sosial di sekitar saya. Ketidak adilan dan diskriminasi masih tumbuh subur di negara yang notabenenya jumlah muslimnya terbesar di dunia. Bahkan, saya jadi berpikir lagi, apakah jumlah muslim terbesar tersebut hanya KTP saja tidak dibarengi dengan kualitas iman dan akhlak yang diajarkan oleh Al Quran, sehingga sangat mudah ditunggangi oleh penyusup licik yang mengatasnamakan agama dan negara serta kekuasaannya untuk mengambil hak-hak manusia lain di bumi Indonesia ini.
Dari lima kisah yang dituturkan, saya terkesima saat sekarang di mana manusia dibilang semakin beradab dengan kecanggihan dunia digital dan kemudahan akses teknologi akan tetapi nilai-nilai kemanusiaan yang dipegang tidaklah sebanding dengan kemajuan zaman. Kalaupun 14 abad yang lalu, di mana rasul terakhir masih hidup, saat peradaban Islam berjaya dengan teknologi yang tidak secanggih saat ini kehidupan warga yang non muslim sangat dilindungi hak-haknya. Proses islamisasi yang dilakukan orang muslim atau biasa disebut dengan dakwah itu pun harus dilakukan dengan santun, kalaupun mengharuskan terjadinya perang seperti di awal-awal zaman diturunkannya Islam dari langit, peperangan tersebut karena alasan membela diri. Muslim di zaman nabi tidak pernah memulai pertempuran.
Saya menemukan potret kehidupan orang-orang yang mengaku muslim dan bertopeng di balik negara dan menggunakan kekuasaannya lalu mengatas namakan Islam yang menegakkan kalimat tauhid Tiada Tuhan Selain Allah dengan tindakan keji yang jauh dari akhlak Islami, sebut saja pada bab pertama, kita akan disuguhi oleh cerita Puto yang harus berganti nama Umar dalam kisah Olenka, generasi yang hilang. Tekanan batin seorang penganut aliran kepercayaan Patuntung yang tidak diakui oleh negara sehingga dalam KTP mereka oleh oknum negara (RT/RW) harus mencantumkan agama Islam, sehingga harus belajar Iqra, wajib menggunakan baju panjang dan kerudung, sedangkan mereka adalah non muslim, bagaimana bisa agama dipaksakan seperti ini? Agama yang semula menentramkan karena dipaksakan akhirnya menjadi keresahan, apalagi cara menyampaikannya dengan tidak santun.
Anick melalui Puto, sang karakter penganut Patuntung mengakui bahwa Tuhannya satu, ada kehidupan lain setelah kematian, hubungan dengan alam begitu baik. Mereka adalah penjaga kelestarian hutan, malah lebih bertanggung jawab dibandingkan para pengusaha pembalakan hutan secara liar yang kadang mereka mengaku agamanya muslim, merusak ekosistem di bumi dengan mengganti hutan dengan perkebunan sawit yang menghasilkan untung besar demi kekayaan pribadi serta mengusir orang utan dari habitat aslinya. Puto kalah oleh kekuasaan negara yang mengharuskannya menjadi Islam KTP, negara tidak mau mencantumkan kepercayaan Patuntung, Puto juga tidak mau mengisi dengan aliran kepercayaan kepada Tuhan Y.M.E. Keresahannya yang mendalam ada pada bait berikut ini:
Tiada muslim setengah, Puang
tiada muslim Patuntung
muslim muslim
Patuntung Patuntung
Pada bab kedua, kita akan menyelami bagaimana seorang anak yang menyaksikan penyerangan terhadap aliran kepercayaan Sapta Darma oleh muslim berjubah yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang Islam memerangi kekafiran. Saya bertanya-tanya, kenapa Indonesia hanya mengakui 5 Agama dan satu kepercayaan saja, sehingga saat membuat KTP bagi warga negara yang mempunyai kepercayaan selain ke enam tersebut harus menuliskan sebagai muslim. Jangan-jangan karena inilah jumlah muslim secara KTP di Indonesia tergolong paling besar di dunia. Karena kebohongan yang dipaksakan oleh negara agar warga mengikutinya atau ini karena kebodohan pranata pemerintahan (RT/RW). Akhirnya, penyerangan yang dilakukan oleh para pejuang yang mengatasnamakan Islam untuk memerangi warga muslim yang tidak melakukan ibadah sesuai ajaran Islam pun tidak terelakkan. Alangkah indahnya jika mereka-mereka yang menganut kepercayaan tersebut tidak dipaksakan untuk menuliskan agama Islam di KTP mereka, jadi muslim tidaklah terbatas KTP saja, tentu saja dibarengi dengan kualitas akhlak yang mencintai kedamaian dan keselamatan bersama.
Dialog yang menyentuh logika saya dalam memahami kebodohan kekuasaan negara dalam membuat pertumpahan darah sesama manusia, ada pada bait berikut ini:
Kami ini bukan muslim jika itu yang ingin Anda dengar
Sontak Gemuruh dan Warno, Ibu
aku melihatnya melantang suara
Tapi KTPnya Islam!
Bab ketiga dengan judul Kuburlah Kami Hidup-Hidup, mengisahkan bentuk penawaran dari muslim Ahmadiah kepada negara ini agar mendapatkan ketenangan. Ahmadiah dianggap sesat oleh MUI bahkan di negara asalnya di Pakistan, Ahmadiah sudah dinyatakan sesat karena mengakui adanya nabi baru, Mirza Ghulam Ahmad. Namun, kalaupun terjadi peperangan untuk orang yang beradab syarat utama harusnya wanita dan anak-anak tidak boleh ikut serta. Yang mencuri perhatian saya adalah bagaimana kisah sang anak bernama Aisyah yang hingga ratusan hari tidak bisa tersenyum karena trauma yang dialaminya, harus kehilangan kaki dan kedua orang tuanya di saat penyerangan terhadap Ahmadi di Lombok saat itu.
Anick cukup mampu membawa emosi saya ke dalam jiwa-jiwa anak kecil yang tidak berdosa yang harus menanggung perbuatan orang dewasa. Kehilangan kaki dan orang tua lalu tinggal di sebuah penampungan sendirian bisa jadi akhir keceriaan bagi Aisyah, sampai suatu ketika ada Zainab yang selalu membagi dua jam ratusan hari di hidupnya untuk menemani Aisyah di kala senja hanya menginginkan Aisyah kembali tersenyum. Sungguh kisah ini mengingatkan saya bahwa di negeri ini akan selalu ada manusia baik yang mengorbankan waktunya untuk generasi penerus bangsa seperti Aisyah.
aku dan kursi roda ini bersaksi
bahwa sepotong senja itu mahal harganya
demi secuil senyum Aisyah, si gadis kecil
Hingga tak terasa sampai bab empat “ Bu Murti Diculik Wiro Sableng” yang berkisah mengenai perjuangan dan kesulitan yang dihadapi para pemeluk agama Kristen maupun Katolik dalam membangun tempat peribadatan mereka di daerah sekitar Jabodetabek. Cukup mencengangkan kasus kesulitan pembangunan gereja ini bisa terjadi, karena dari beberapa hasil penelitian jumlah gereja itu lebih banyak daripada masjid di Jakarta. Dan saya sedikit membuka mata, mungkin kasus ini adanya di pedesaan yang kental dengan kehidupan orang muslim. Saya sekilas melihat pemerintah cukup menghormati kehidupan agama orang Kristen dan Katolik kalau dilihat hari libur tiap pekannya jatuh di hari Minggu bukannya hari Jumat, tentunya umat kristiani lebih leluasa beribadah dibandingkan jika liburnya hari Jumat—hari jumatan/ ibadah muslim.
Saya mengikuti kisah yang dialami seorang pendeta bernama Bruno yang secara intens diikuti dari detik ke detik pergulatan pikirannya saat akan meninggalkan Indonesia menuju tempat yang lebih tenang, yaitu saat di ruang tunggu keberangkatannya menuju gereja Gummersbach, Jerman menggunakan Qatar Airways. Pergulatan batin yang lebih dalam lagi saat salah satu jemaatnya yang jujur dan loyal bernama Murti yang sekaligus bendahara gereja diculik oleh sekelompok orang yang berkuasa dengan ormasnya yang bernama Wiro Sableng. Kita akan mengikuti bagaimana pergulatan antara tanggung jawab seorang pemimpin agama yang hidup di tengah masyarakat yang berbeda keyakinan dengannya. Benih kecurigaan dan ketakutan misionaris atau mengkristenkan para muslim yang hidup di bawah kemiskinan itu sering dijadikan senjata untuk mengobarkan api kebencian kepada para anggota Wiro Sableng yang kadang mereka juga tidak paham dengan ormas yang mereka ikuti. Hal itulah yang terungkap dalam salah satu bait sudut pandang dari seorang pendeta Bruno:
Dan 13 tahun ini memaksanya untuk menyelami agama macam apakah islam itu
-yang muncul dalam wajah mengerikan di hadapannya
apa itu kafir, murtad, ahlul kitab
apa itu sunni, syiah dan ahmadiyah
Sebagai bab terakhir sebagai penutup, bab kelima “Tunjukkan Di Mana Rumah Tuhan”, Anick meramu kisah tentang pengembaraan manusia dalam memikirkan keberadaaan Tuhan secara nyata. Manusia itu sebut saja Salik yang secara sufisme membersihkan dan memurnikan jiwa. Dalam perjalanan panjang, ia menemukan bahwa Tuhan akan dekat kepada mereka yang dengan tulus mendekatinya. Bangunan rumah Tuhan yang megah itu tidaklah menjadi ukuran kedekatan para manusia dengan Tuhannya. Bahkan, bisa dibilang orang-orang yang tinggal dan mencari hidup dari sampah itu lebih dekat kepada Tuhan daripada mereka yang hidupnya membawa simbol agamanya.
Itu terungkap dalam bait:
agama tak sebangun dengan lembaga bernama agama
rumah ibadah tak berarti rumah Tuhan
tempat sampah tak berarti rumah setan.
Agama memang bukan lembaga. Bagi saya yang awam ini, agama itu keimanan di dalam hati yang mengesakan Allah dan menjadikan The Prophet Muhammad sebagai pembawa risalah dalam hidup. Sejauh saya belajar filsafat dan bertanya mengenai Tuhan dan keberadaannya, saya akan menemukan jawabannya walaupun selanjutnya lahir pertanyaan-pertanyaan yang baru.
Sudah terlihat daya tarik di buku ini, di tiap baitnya terangkai indah, berkisah, berima dan bermetafor mengenai ketidakadilan di Indonesia. Anick membawa kita ke dunia mereka yang mengalami tindak diskriminasi itu hingga selesai membacanya masih membekas di benak saya. Saya tidak tahu apakah potret di buku itu adalah bentuk diskriminasi terakhir? Namun yang pasti, bagi saya sebagai manusia, saya akan jalani kehidupan saya seperti Zainab yang menemani Aisyah, karena begitulah seharusnya perilaku manusia berbudi dan beragama.
– Sumber: http://inspirasi.co/forum/post/4060/dunia_yang_terluka#sthash.fQ5g7W4x.dpuf