• Blogs
  • Camera is On
  • indeks…
  • Its Me
    • FORMACI
      • Arsip Formaci
    • JIL
    • LS-ADI
  • nGaGenDas

Ngangsu Kawruh

~ Go Blog Wasaiblog

Ngangsu Kawruh

Monthly Archives: Mei 2014

Dunia yang Terluka

14 Rabu Mei 2014

Posted by anick in Buku

≈ 6 Komentar

Judul Buku            : Kuburlah Kami Hidup-Hidup

Pengarang             : Anick HT

Penerbit                 : Indonesian Conference of Religion and Peace, Jakarta Tahun : 2014, Cetakan Pertama

Jumlah halaman     : 168 halaman

ISBN                     : 978-979-18746-2-5

Harga Buku            : Rp. 35.000,00

Peresensi               : Ani Ema

 

Membaca dan memaknai puisi esai dari buku berjudul Kuburlah Kami Hidup-Hidup karya Anick HT membuat mata saya terbuka kembali, mengkaji lagi dunia sosial di sekitar saya. Ketidak adilan dan diskriminasi masih tumbuh subur di negara yang notabenenya jumlah muslimnya terbesar di dunia. Bahkan, saya jadi berpikir lagi, apakah jumlah muslim terbesar tersebut hanya KTP saja tidak dibarengi dengan kualitas iman dan akhlak yang diajarkan oleh Al Quran, sehingga sangat mudah ditunggangi oleh penyusup licik yang mengatasnamakan agama dan negara serta kekuasaannya untuk mengambil hak-hak manusia lain di bumi Indonesia ini.

Dari lima kisah yang dituturkan, saya terkesima saat sekarang di mana manusia dibilang semakin beradab dengan kecanggihan dunia digital dan kemudahan akses teknologi akan tetapi nilai-nilai kemanusiaan yang dipegang tidaklah sebanding dengan kemajuan zaman. Kalaupun 14 abad yang lalu, di mana rasul terakhir masih hidup, saat peradaban Islam berjaya dengan teknologi yang tidak secanggih saat ini kehidupan warga yang non muslim sangat dilindungi hak-haknya. Proses islamisasi yang dilakukan orang muslim atau biasa disebut dengan dakwah itu pun harus dilakukan dengan santun, kalaupun mengharuskan terjadinya perang seperti di awal-awal zaman diturunkannya Islam dari langit, peperangan tersebut karena alasan membela diri. Muslim di zaman nabi tidak pernah memulai pertempuran.

Saya menemukan potret kehidupan orang-orang yang mengaku muslim dan bertopeng di balik negara dan menggunakan kekuasaannya lalu mengatas namakan Islam yang menegakkan kalimat tauhid Tiada Tuhan Selain Allah dengan tindakan keji yang jauh dari akhlak Islami, sebut saja pada bab pertama, kita akan disuguhi oleh cerita Puto yang harus berganti nama Umar dalam kisah Olenka, generasi yang hilang. Tekanan batin seorang penganut aliran kepercayaan Patuntung yang tidak diakui oleh negara sehingga dalam KTP mereka oleh oknum negara (RT/RW) harus mencantumkan agama Islam, sehingga harus belajar Iqra, wajib menggunakan baju panjang dan kerudung, sedangkan mereka adalah non muslim, bagaimana bisa agama dipaksakan seperti ini? Agama yang semula menentramkan karena dipaksakan akhirnya menjadi keresahan, apalagi cara menyampaikannya dengan tidak santun.

Anick melalui Puto, sang karakter penganut Patuntung mengakui bahwa Tuhannya satu, ada kehidupan lain setelah kematian, hubungan dengan alam begitu baik. Mereka adalah penjaga kelestarian hutan, malah lebih bertanggung jawab dibandingkan para pengusaha pembalakan hutan secara liar yang kadang mereka mengaku agamanya muslim, merusak ekosistem di bumi dengan mengganti hutan dengan perkebunan sawit yang menghasilkan untung besar demi kekayaan pribadi serta mengusir orang utan dari habitat aslinya. Puto kalah oleh kekuasaan negara yang mengharuskannya menjadi Islam KTP, negara tidak mau mencantumkan kepercayaan Patuntung, Puto juga tidak mau mengisi dengan aliran kepercayaan kepada Tuhan Y.M.E. Keresahannya yang mendalam ada pada bait berikut ini:

 

Tiada muslim setengah, Puang

tiada muslim Patuntung

muslim muslim

Patuntung Patuntung

 

Pada bab kedua, kita akan menyelami bagaimana seorang anak yang menyaksikan penyerangan terhadap aliran kepercayaan Sapta Darma oleh muslim berjubah yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang Islam memerangi kekafiran. Saya bertanya-tanya, kenapa Indonesia hanya mengakui 5 Agama dan satu kepercayaan saja, sehingga saat membuat KTP bagi warga negara yang mempunyai kepercayaan selain ke enam tersebut harus menuliskan sebagai muslim. Jangan-jangan karena inilah jumlah muslim secara KTP di Indonesia tergolong paling besar di dunia. Karena kebohongan yang dipaksakan oleh negara agar warga mengikutinya atau ini karena kebodohan pranata pemerintahan (RT/RW). Akhirnya, penyerangan yang dilakukan oleh para pejuang yang mengatasnamakan Islam untuk memerangi warga muslim yang tidak melakukan ibadah sesuai ajaran Islam pun tidak terelakkan. Alangkah indahnya jika mereka-mereka yang menganut kepercayaan tersebut tidak dipaksakan untuk menuliskan agama Islam di KTP mereka, jadi muslim tidaklah terbatas KTP saja, tentu saja dibarengi dengan kualitas akhlak yang mencintai kedamaian dan keselamatan bersama.

Dialog yang menyentuh logika saya dalam memahami kebodohan kekuasaan negara dalam membuat pertumpahan darah sesama manusia, ada pada bait berikut ini:

 

Kami ini bukan muslim jika itu yang ingin Anda dengar

Sontak Gemuruh dan Warno, Ibu

aku melihatnya melantang suara

Tapi KTPnya Islam!

 

Bab ketiga dengan judul Kuburlah Kami Hidup-Hidup, mengisahkan bentuk penawaran dari muslim Ahmadiah kepada negara ini agar mendapatkan ketenangan. Ahmadiah dianggap sesat oleh MUI bahkan di negara asalnya di Pakistan, Ahmadiah sudah dinyatakan sesat karena mengakui adanya nabi baru, Mirza Ghulam Ahmad. Namun, kalaupun terjadi peperangan untuk orang yang beradab syarat utama harusnya wanita dan anak-anak tidak boleh ikut serta. Yang mencuri perhatian saya adalah bagaimana kisah sang anak bernama Aisyah yang hingga ratusan hari tidak bisa tersenyum karena trauma yang dialaminya, harus kehilangan kaki dan kedua orang tuanya di saat penyerangan terhadap Ahmadi di Lombok saat itu.

Anick cukup mampu membawa emosi saya ke dalam jiwa-jiwa anak kecil yang tidak berdosa yang harus menanggung perbuatan orang dewasa. Kehilangan kaki dan orang tua lalu tinggal di sebuah penampungan sendirian bisa jadi akhir keceriaan bagi Aisyah, sampai suatu ketika ada Zainab yang selalu membagi dua jam ratusan hari di hidupnya untuk menemani Aisyah di kala senja hanya menginginkan Aisyah kembali tersenyum. Sungguh kisah ini mengingatkan saya bahwa di negeri ini akan selalu ada manusia baik yang mengorbankan waktunya untuk generasi penerus bangsa seperti Aisyah.

 

aku dan kursi roda ini bersaksi

bahwa sepotong senja itu mahal harganya

demi secuil senyum Aisyah, si gadis kecil

 

Hingga tak terasa sampai bab empat “ Bu Murti Diculik Wiro Sableng” yang berkisah mengenai perjuangan dan kesulitan yang dihadapi para pemeluk agama Kristen maupun Katolik dalam membangun tempat peribadatan mereka di daerah sekitar Jabodetabek. Cukup mencengangkan kasus kesulitan pembangunan gereja ini bisa terjadi, karena dari beberapa hasil penelitian jumlah gereja itu lebih banyak daripada masjid di Jakarta. Dan saya sedikit membuka mata, mungkin kasus ini adanya di pedesaan yang kental dengan kehidupan orang muslim. Saya sekilas melihat pemerintah cukup menghormati kehidupan agama orang Kristen dan Katolik kalau dilihat hari libur tiap pekannya jatuh di hari Minggu bukannya hari Jumat, tentunya umat kristiani lebih leluasa beribadah dibandingkan jika liburnya hari Jumat—hari jumatan/ ibadah muslim.

Saya mengikuti kisah yang dialami seorang pendeta bernama Bruno yang secara intens diikuti dari detik ke detik pergulatan pikirannya saat akan meninggalkan Indonesia menuju tempat yang lebih tenang, yaitu saat di ruang tunggu keberangkatannya menuju gereja Gummersbach, Jerman menggunakan Qatar Airways. Pergulatan batin yang lebih dalam lagi saat salah satu jemaatnya yang jujur dan loyal bernama Murti yang sekaligus bendahara gereja diculik oleh sekelompok orang yang berkuasa dengan ormasnya yang bernama Wiro Sableng. Kita akan mengikuti bagaimana pergulatan antara tanggung jawab seorang pemimpin agama yang hidup di tengah masyarakat yang berbeda keyakinan dengannya. Benih kecurigaan dan ketakutan misionaris atau mengkristenkan para muslim yang hidup di bawah kemiskinan itu sering dijadikan senjata untuk mengobarkan api kebencian kepada para anggota Wiro Sableng yang kadang mereka juga tidak paham dengan ormas yang mereka ikuti. Hal itulah yang terungkap dalam salah satu bait sudut pandang dari seorang pendeta Bruno:

 

Dan 13 tahun ini memaksanya untuk menyelami agama macam apakah islam itu

-yang muncul dalam wajah mengerikan di hadapannya

apa itu kafir, murtad, ahlul kitab

apa itu sunni, syiah dan ahmadiyah

 

Sebagai bab terakhir sebagai penutup, bab kelima “Tunjukkan Di Mana Rumah Tuhan”, Anick meramu kisah tentang pengembaraan manusia dalam memikirkan keberadaaan Tuhan secara nyata. Manusia itu sebut saja Salik yang secara sufisme membersihkan dan memurnikan jiwa. Dalam perjalanan panjang, ia menemukan bahwa Tuhan akan dekat kepada mereka yang dengan tulus mendekatinya. Bangunan rumah Tuhan yang megah itu tidaklah menjadi ukuran kedekatan para manusia dengan Tuhannya. Bahkan, bisa dibilang orang-orang yang tinggal dan mencari hidup dari sampah itu lebih dekat kepada Tuhan daripada mereka yang hidupnya membawa simbol agamanya.

Itu terungkap dalam bait:

 

agama tak sebangun dengan lembaga bernama agama

rumah ibadah tak berarti rumah Tuhan

tempat sampah tak berarti rumah setan.

 

Agama memang bukan lembaga. Bagi saya yang awam ini, agama itu keimanan di dalam hati yang mengesakan Allah dan menjadikan The Prophet Muhammad sebagai pembawa risalah dalam hidup. Sejauh saya belajar filsafat dan bertanya mengenai Tuhan dan keberadaannya, saya akan menemukan jawabannya walaupun selanjutnya lahir pertanyaan-pertanyaan yang baru.

Sudah terlihat daya tarik di buku ini, di tiap baitnya terangkai indah, berkisah, berima dan bermetafor mengenai ketidakadilan di Indonesia. Anick membawa kita ke dunia mereka yang mengalami tindak diskriminasi itu hingga selesai membacanya masih membekas di benak saya. Saya tidak tahu apakah potret di buku itu adalah bentuk diskriminasi terakhir? Namun yang pasti, bagi saya sebagai manusia, saya akan jalani kehidupan saya seperti Zainab yang menemani Aisyah, karena begitulah seharusnya perilaku manusia berbudi dan beragama.

 

– Sumber: http://inspirasi.co/forum/post/4060/dunia_yang_terluka#sthash.fQ5g7W4x.dpuf

Kegentingan dalam Kelakar “Kuburlah Kami Hidup-hidup”

03 Sabtu Mei 2014

Posted by anick in Buku

≈ 4 Komentar

Isu diskriminasi sangat pekat di Indonesia. Adanya penolakan terhadap yang bukan golongannya semakin digelorakan; dari mahzab ke mahzab, dari sosial ke ruang ruang struktural. Begitulah secara nyata kaum mayoritas di negeri ini memamah biak untuk memangsa kaum minoritas; baik dari asal-usul keyakinan, agama maupun sosial; dunia seakan milik kaum superior dan tidak ada tempat bagi kaum mayoritas.

Sementara itu kaum minoritas berharap cemas dengan pelbagai “kepentingan” yang digaungkan oleh kaum mayoritas—ini berlaku bagi aspek apapun—dan lebih kejamnya separuh lubang minoritas ini menjadi titik masuk untuk memasang perangkap dari kaum minoritas itu. Terutama dalam kerangka politis—politik praktis, ekonomi, kebudayaan dan pembangunan.

Nampaknya sangat paradoks, jika dibandingkan dengan “ideologi” negara yang mengusung pancasila. Sikap saling menghormati, menghargai satu sama lain harus dijadikan landasan sosial. Ini harga mati, sebab negara Indonesia sudah mengikrarkan Bhineka Tunggal Ika: berbeda tetap satu jua.

Secara sosial, baik isu atau laku konflik diskriminatif harus segera disadari oleh berbagai pihak untuk dihindari. Namun, proses penyadaran itu perlu menitik pada kesadaran ruang sosial. Para aktivis sosial, peneliti, tidak henti-hentinya menyerukan untuk dapat berlaku menghargai sesama. Toleransi adalah harga mati. Ini penting diperhatikan jika melihat sejumlah ungkapan para pegiat sosial-keagamaan yang ada di Indonesia.

Tentu saja sejumlah kasus konflik yang pernah terjadi—baik agama ataupun sosial–namun, lain halnya dengan seorang Anick HT.  Ia kerapkali dikenal sebagai peneliti sosial pada isu yang terkait plularisme, toleransi dan diskriminasi. Ia sudah bergelut sekian lama dengan isu-isu yang “genting” di Indonesia. Sebagai pengelola Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi—sebuah lembaga yang menerbitkan perpustakaan digital untuk isu-isu Islam dan Demokrasi. Selain itu pula, pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif ICRP periode 2008-2010. Sementara untuk tulisan kolomnya, ia juga berfokus pada isu-isu Islam, plularisme, dan dialog antar-agama.

Dengan demikian, tidak salahlah secara biografi ia menerbitkan kumpulan Puisi-Esai yang berjudul “Kuburlah Kami Hidup-hidup”. Sekilas membaca judulnya, terkesan adanya kegentingan dalam puisi-esai yang ia bukukan ini.

Dalam buku ini, ada lima puisi-esai yang disajikan. Kelima puisi itu, mengangkat tema yang tidak jauh dari fokus kajiannya; diskriminasi, pluarisme, dan dialog antar agama. Bedanya, dalam bentuk puisi-esai fokus naratif menjadi lebih segar dengan ungkapan prosaik—metafora simile—yang ada dalam puisi-esainya.

Kenapa Anick HT menulis dalam puisi-esai? Tentunya pertanyaan ini akan dijawab hanya persoalan pilihan media/bentuk saja. Karena yang terpenting dalam fokusnya adalah mengangkat isu-isu diskriminasi yang tengah (telah) terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu, Acep Zamzam Noor dalam pengantar buku ini menyebutkan “Ketiga Puisi Anick HT; “Olenka Generasi yang Hilang,” Tuhanmu bukan Tuhanmu” dan “Kuburlah Kami Hidup-hidup,” menampakan  watak kepenyairannya ketimbang intelektualnya, atau paling tidak ada keseimbangan di antara keduanya…dengan sudut pandang tersebut ia menyuarakan apa yang menjadi gagasan.  Ia bertutur bukan sebagai peneliti, tapi sebagai tokoh fiktif yang diciptakannya. Realitas dan imaji berkelindan dalam tubuh puisi, lalu metafor yang merupakan unsur penting dari puisi juga kerapkali muncul di antara keduanya. Adapun catatan kaki menjalankan tugasnya di balik layar sebagai pemberi data tambahan, atau dalam beberapa bagian menjadi perekat antara fakta dan fiksi.” (hlm 29).

Sebagaimana diketahui bahwa puisi-esai bentuk puisi yang meramu antara fakta dan fiksi itu. Dua jenis yang dapat merangkainya hingga dapat ditemukan logika fiksi dan catatan kaki sebagai racikan data untuk menciptakan tokoh-tokoh yang bersuara kegentingan.

Pada puisi Anick HT berjudul “Olenka, Generasi yang Hilang,” ia dapat memunculkan tokoh tetua adat yang menjadi saksi penerapan syariah yang dipaksakan pemerintah Bulukumba. Sementara itu, pada puisi “Tuhanmu bukan Tuhanmu,” ia menampilkan tokoh anak FPI terhadap aliran kepercayaan di Yogyakarta. Selanjutnya pada “Kuburlah Kami Hidup-Hidup” diciptakannya tokoh korban yang menjadi saksi dari semua kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah, termasuk sejarah panjang Ahmadiyah di Lombok.

“Aku bersaksi

juga kursi roda ini

gadis kecil itu setegar karang

ia telah melewati 473 hari

tanpa sesunggih senyum pun di bibirnya” (hlm 88).

Begitulah narasi kegentingan pada pembukaan “Kuburlah Kami Hidup-Hidup”. Selain ada beberapa puisi-esai yang dapat kita baca serta cermati untuk memberikan kesadaran lain terhadap isu plurasime, dialog antar agama dan diskriminasi pada kelompok minoritas.

Oleh karenanya, tidak salah untuk menjadi buku ini sebagai ruang mencecap elemen-elemen puitika; metafora, simile dan racikan data dari pelbagai peristiwa yang terjadi dalam pergolakan diskriminasi sehingga dari kegentingan itu dapat memberikan ruang kesadaran bagi para pembacanya agar dimanifestasikan dalam laku sosial. Selamat membaca!

_____________________________________

Judul    : Kuburlah Kami Hidup-Hidup

Penulis: Anick HT

Pengantar: Acep Zamzam Noor

Penerbit: Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)

Cetakan I : Januari 2014

ISBN: 978-979-18746-2-5

Peresensi : Gustaf Aminudin, Pegiat Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, bermukim di Bandung.

Sumber: rimanews.com

abuku

Anda pengunjung ke:

  • 167.392

nGeBloGsss

  • Ngangsu Bahasa
  • Ngangsu Caping
  • Ngangsu Inggris
  • Ngangsu Jepret
  • Ngangsu Media
  • Ngangsu Puisi

Guest Room

Kirimkan pesan pribadi atau komentar umum tentang blog ini atau tentang pemilik blog ini, atau sekadar menandai bahwa Anda pernah mampir ke sini...

Klik untuk menulis pesan

Quote…

"Imagine there's no countries

It isn't hard to do

Nothing to kill or die for

And no religion too

Imagine all the people

Living life in peace..."

~John Lennon~

Photobucket

RSS Democracy Project

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Democracy Project

Democracy Project

Share Blog ini…

Facebook Twitter More...

Posting Terbaru

  • Kalau Saya Menyembah Pohon, Anda Mau Apa?
  • Menulis itu mudah…
  • Kuburlah Kami Hidup-hidup
  • Dunia yang Terluka
  • Kegentingan dalam Kelakar “Kuburlah Kami Hidup-hidup”
  • Warisan Rezim SBY
  • Wajah Toleransi Yang Terkoyak
  • Diskriminasi itu Luka, Kuburlah kami hidup-hidup

Solilokui

  • Represi hanya akan menyulut eskalasi. Apalagi represi yang gak masuk akal. #SaveDandhyLaksono 2 months ago
  • Mereka mengira mereka hijrah... 3 months ago
  • StopKekerasan di Sekolah... youtu.be/iG5IFy7CybI 5 months ago
  • youtu.be/JVCLfg602-k 5 months ago
  • youtu.be/0zSty0WmtYE 6 months ago
Follow @AnickHT

Tanggapans….

Nita pada Ketakutan di Lembah Karme…
Erlang pada Ketakutan di Lembah Karme…
Andri pada Agama dan Kepercayaan
Andri pada Agama dan Kepercayaan
notebook acer pada Wajah Toleransi Yang Terk…

Rangking

  • 101 Fakta tentang India
  • Ketakutan di Lembah Karmel

Kategori

  • Buku
  • Democracy Project
  • English
  • Film
  • Hukum
  • Indiana
  • Indonesiana
  • Islam
  • Jakarta
  • Kampusiana
  • Kebebasan Beragama
  • Kliping
  • Membaca
  • Menulis
  • Perjalanan
  • Pluralisme
  • Pojok Utan Kayu
  • Politik
  • Puisi
  • Rengeng-rengeng
  • Umum

Ngasal

Buku Democracy Project Fundamentalisme kosmos Kutipan puisi Quotation Rohis rokok Saiful Mujani sampang Sekolah syiah Taufik Adnan Amal tuhan westerling

Arsips….

  • Agustus 2015 (1)
  • Mei 2015 (1)
  • Agustus 2014 (1)
  • Mei 2014 (2)
  • Februari 2014 (24)
  • Oktober 2013 (1)
  • Mei 2013 (1)
  • April 2013 (2)
  • Desember 2012 (1)
  • November 2012 (1)
  • September 2012 (1)
  • April 2011 (3)
  • Februari 2011 (1)
  • Agustus 2010 (1)
  • Juli 2010 (1)
  • Februari 2010 (1)
  • September 2009 (1)
  • Agustus 2009 (1)
  • Juli 2009 (2)
  • April 2009 (1)
  • Februari 2009 (1)
  • Januari 2009 (1)
  • Desember 2008 (2)
  • Oktober 2008 (3)
  • September 2008 (2)
  • Agustus 2008 (2)
  • Juli 2008 (3)
  • Juni 2008 (3)
  • Mei 2008 (5)
  • April 2008 (3)
  • Maret 2008 (1)
  • Januari 2008 (2)
  • Desember 2007 (1)
  • November 2007 (3)
  • September 2007 (2)
  • Agustus 2007 (2)
  • Juli 2007 (1)
  • Juni 2007 (5)
  • April 2007 (2)
  • Maret 2007 (1)
  • Februari 2007 (3)
  • Januari 2007 (4)
  • Desember 2006 (4)
  • November 2006 (4)
  • Oktober 2006 (4)
  • September 2006 (4)
  • Agustus 2006 (6)
  • Juli 2006 (7)
  • Mei 2006 (5)
  • April 2006 (1)
  • Februari 2006 (4)
  • Maret 2004 (1)
  • Agustus 2003 (1)
  • Mei 2003 (1)
  • April 2003 (1)
  • Maret 2003 (2)
  • Februari 2003 (3)
  • Januari 2003 (2)
  • Desember 2002 (1)
  • November 2002 (1)
  • September 2002 (1)
  • Agustus 2002 (1)
  • Juni 2002 (1)
  • April 2002 (3)
  • Februari 2002 (1)
  • Januari 2002 (1)
  • April 2001 (3)
  • Oktober 2000 (1)
  • September 2000 (2)
  • Mei 2000 (2)

Camera is On...

Aquarium..Q-Big, Bumi serpong damai..Bali
Lebih Banyak Foto

Peta Pengunjungs..

Kampoeng…

KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia

World Top Blogs - Blog TopSites

Who links to me?

Check Pagerank

my del.icio.us

Meta

  • Daftar
  • Masuk
  • Entries feed
  • Feed Komentar
  • WordPress.com

RSS BBC In Depth

  • Oprah, akhir sebuah era?
  • Obama yakinkan sekutu di Asia
  • Kronologi Revolusi 1989

RSS ANTARA News

  • KPU Kepulaun Seribu kekurangan 782 lembar surat suara
  • Fadli Zon pastikan survei Prabowo terukur
  • Jazuli: PKS-Habib Rizieq sangat dekat

RSS Tajuk Rencana

  • Berkejaran dengan Waktu
  • Blok Capres Bermunculan
  • Menggugat Harga BBM

Baca-baca

RSS Picasa

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Rubriks..

Buku Democracy Project English Film Hukum Indiana Indonesiana Islam Jakarta Kampusiana Kebebasan Beragama Kliping Membaca Menulis Perjalanan Pluralisme Pojok Utan Kayu Politik Puisi Rengeng-rengeng Umum

Democracy Project

  • Kalau Saya Menyembah Pohon, Anda Mau Apa? ow.ly/OAtI5... 4 years ago
  • World Interfaith Harmony Week 2015: Building Peace in Ambon Islands: ow.ly/N2Rf5... 4 years ago
  • Memerdekakan Negara dari Agama, Memerdekakan Agama dari Negara: ow.ly/N23V2... 4 years ago
  • CAK NUR DAN AMANAH YANG TERTINGGAL: ow.ly/MJE6r... 4 years ago
  • World Happiness Report 2015 ranks happiest countries: ow.ly/M3qsa... 4 years ago
Follow @demokrasi21

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Batal
Privasi & Cookie: Situs ini menggunakan cookie. Dengan melanjutkan menggunakan situs web ini, Anda setuju dengan penggunaan mereka.
Untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk cara mengontrol cookie, lihat di sini: Kebijakan Cookie