Kalau Saya Menyembah Pohon, Anda Mau Apa?
21 Jumat Agu 2015
Posted Kebebasan Beragama, Pluralisme
in21 Jumat Agu 2015
Posted Kebebasan Beragama, Pluralisme
in24 Jumat Mei 2013
Posted Indonesiana, Kebebasan Beragama
inYang Mulia jajaran pengurus dan dewan juri Appeal of Conscience Foundation (ACF). Perkenankan saya berdiri di hadapan Anda semua yang telah mempercayai saya, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia untuk menerima World Statesman Award ini. Penghargaan ini adalah anugerah besar bagi saya, Presiden dari 240 juta penduduk Indonesia.
Bapak Ibu yang saya hormati,
Tentu saja tradisi memberikan apresiasi dan penghargaan untuk orang-orang atau pihak-pihak yang telah memajukan toleransi di muka bumi ini adalah tradisi yang sangat baik dan perlu terus dikembangkan agar menstimulasi lahirnya banyak inisiatif kebijakan dan tindakan toleransi, anti-diskriminasi, dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Adalah tugas kita semua, terutama bagi pemimpin-pemimpin Negara di dunia untuk memastikan bahwa demokrasi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia bisa diwujudkan dalam setiap jengkal tanah di bumi yang semakin beradab ini.
Bapak Ibu yang saya hormati,
Saya yakin Anda semua, terutama para dewan juri juga sudah meneliti dengan seksama, bahwa saya dan jajaran pemerintah Indonesia sudah berkomitmen penuh untuk melaksanakan amanat besar kemanusiaan tersebut. Saya juga yakin Anda semua tahu, dalam konteks Indonesia, dan mungkin kebanyakan Negara dunia ketiga, hambatan dan tantangan yang ada cukup besar untuk bisa mewujudkan hal tersebut. Meski secara normatif pemerintah Indonesia telah melakukan banyak upaya ke arah sana, meratifikasi banyak kovenan dan menandatangani beberapa komitmen internasional, namun pada tingkat pelaksanaannya, ini masih sulit dilakukan.
Tentu saja Anda semua juga tahu, untuk kasus Indonesia, di tingkat lapangan masih terjadi banyak diskriminasi dan perlakuan yang tak sewajarnya, persekusi terhadap kelompok minoritas, konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, serta kebijakan-kebijakan yang masih mengistimewakan golongan tertentu dan mendiskriminasi golongan yang lain, terutama golongan yang dianggap sebagai minoritas, secara jumlah maupun kekuatan politik.
Saya sendiri menyadari bahwa sebagai Presiden Republik Indonesia, saya belum berbuat banyak terhadap segala kasus intoleransi yang kian tahun kian menaik tersebut.
Karena itu Bapak Ibu yang saya hormati,
Pemberian penghargaan ini adalah tamparan besar bagi saya. Pemberian penghargaan ini mengingatkan saya bahwa persoalan yang selama ini tidak terlalu saya hiraukan adalah persoalan besar, persoalan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan serius.
Meski Indonesia boleh dibilang sudah mengalami lompatan yang cukup jauh dalam hal kebijakan normative, namun korban intoleransi masih berjatuhan. Bahkan sebagian kecil nyawa warga minoritas pun melayang. Saya sadar, meski korban itu terbilang sedikit, namun korban diskriminasi bukanlah diukur dari hitungan statistik. Satu nyawa melayang tak wajar di negeri yang damai haruslah dianggap pukulan telak bagi kemanusiaan.
Karena itu Bapak Ibu yang saya hormati,
Ijinkan saya berdiri di hadapan Anda semua untuk menyatakan bahwa saya menolak menerima penghargaan ini. Demi keprihatinan dan solidaritas saya terhadap korban intoleransi yang berjatuhan, saya merasa tidak layak menerimanya.
Sebaliknya, saya merasa berterima kasih atas kepercayaan Anda semua yang telah mengingatkan saya betapa berat beban kita untuk mewujudkan dunia yang toleran, damai, dan tanpa diskriminasi. Melalui panggung terhormat ini, saya ingin menyatakan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh korban diskriminasi dan intoleransi selama ini. Melalui panggung terhormat ini, saya berjanji untuk lebih mendayagunakan potensi dan kebijakan kami untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita kita bersama tersebut. Juga seperti yang pernah saya nyatakan di hadapan seluruh warga Indonesia beberapa tahun lalu, “Negara tidak boleh kalah oleh kekerasan”.
Semoga Tuhan memberikan petunjuknya bagi saya dan seluruh aparat pemerintah Indonesia.
SBY
1 Juni 2013
~Anick HT~
27 Selasa Nov 2012
Posted Kebebasan Beragama
inDalam konteks gerakan pluralisme, posisi kelompok minoritas cukup penting; baik sebagai korban langsung diskriminasi dan persekusi atas dasar agama, maupun sebagai bagian dari warga negara secara umum yang berjarak dengan para pelaku persekusi. Gereja misalnya, memiliki posisi strategis untuk turut mendorong tumbuhnya semacam creative minority yang bekerja untuk pluralisme dan misi kemanusiaan secara umum.
Namun, kelompok minoritas ini juga seringkali memiliki masalah di dalam dirinya sendiri. Berikut adalah beberapa persoalan yang melingkupi gereja:
1. Sindrom Minoritas
Secara umum, kecenderungan diam, mendiamkan, membiarkan intoleransi dan gerakan antikeragaman merajalela ini menghinggapi kelompok “minoritas”, termasuk kelompok Kristen. Ini sangat berbahaya karena bisa ditangkap sebagai justifikasi pembenaran tindakan intoleran. Apalagi jika kecenderungan diam dan kegamangan ini juga menghinggapi aparat keamanan dan pihak pengelola negara.
Kelompok minoritas ini seakan mengidap sindrom akut yang pada gilirannya memperkuat kelompok-kelompok yang diuntungkan dengan spirit mayoritarianisme. Pada banyak kasus, tindakan “mencari aman” di kalangan kelompok minoritas menyulitkan proses advokasi. Justifikasi teologis untuk “mengalah” mendapat perlakuan diskriminasi dan kesewenangan dari kelompok “mayoritas” juga memberi kontribusi besar terhadap lemahnya gerakan pendampingan kasus-kasus keagamaan. Dalam kasus-kasus gereja misalnya, “sadar minoritas” diterjemahkan dengan memberikan benefit ekonomi-politik terhadap kelompok pelaku kekerasan. Parahnya, pendekatan seperti ini banyak dianggap sebagai “pendekatan persuasif” yang benar dari kehadiran gereja di tengah masyarakat.
Pada banyak kasus lain, kelompok minoritas juga berkecenderungan mengkotakkan diri mereka secara eksklusif, sehingga memperkuat pola segregasi sosial berbasis agama. Pada gilirannya, segregasi inilah yang memproduksi prejudice, generalisasi, dan gap antar-agama. Segregasi ini bahkan bukan hanya pada konteks pendidikan yang sudah sejak lama terjadi. Belakangan, muncul tren perumahan dan perkampungan berbasis identitas agama.
2. Disorientasi dan masalah internal
Seperti dalam perdebatan yang tak kunjung usai dalam dunia sastra tentang pertanyaan: apakah sastra untuk sastra ataukah sastra untuk masyarakat, dalam perkembangan agama-agama di Indonesia, kecenderungan orientasi eksistensial (agama untuk agama) menjadi masalah pelik yang cenderung merugikan penciptaan kedewasaan beragama masyarakat kita.
Yang agak menonjol dalam kasus ini adalah persaingan perebutan umat antar-denominasi di kalangan penganut Kristen. Karena jumlah umat berbanding lurus dengan privilege, bargain position, dan bahkan benefit langsung, maka orientasi beragama kuantitatif lebih sering menjadi pilihan, daripada mendewasakan umat dengan kualitas keadaban yang jauh lebih penting. Meski tak nampak di permukaan, konflik internal yang diakibatkan masalah ini banyak terjadi.
Akibatnya, kaum agamawan abai terhadap misi utama agama: memberi terang bagi semua; rahmatan lil’alamin. Karena itu, agak sulit kita mengharapkan tercipta solidaritas dan soliditas gerakan pluralisme dan perjuangan kemanusiaan.
Masalah lain dalam kelompok minoritas adalah minimnya sensitifitas sosial dan early warning system. Di tengah kondisi sosial di mana regulasi sosial seringkali lebih menentukan daripada regulasi negara dan penegakan hukum, kohesi dan kepekaan sosial masih cukup signifikan menjadi jawaban terhadap kerentanan dan gap-gap yang mudah sekali disulut sebagai bahan mentah konflik.
3. Sikap apolitis dan apatis
Menganggap bahwa masalah kekerasan agama, persekusi, fundamentalisme, dan terorisme adalah masalah internal umat Islam membuat kelompok minoritas memilih sikap diam, tak peduli, dan merasa bahwa ini bukan masalah mereka.
Hasilnya, keterlibatan kelompok minoritas ini dalam gerakan pluralisme, baik pada ranah politik, advokasi kebijakan, maupun keterlibatan mereka dalam kerangka gerakan civil society bisa dikatakan sangat minim. Jikapun ada, lebih banyak menjadi actor komplementer dari gerakan yang diinisiasi dan dimotori oleh “kelompok Islam pluralis.”
Jika mau jujur, sedikit sekali tokoh nasional yang muncul dari kelompok minoritas yang mampu mengatas sekat-sekat identitas dan beban sindrom, terutama yang terlibat dalam isu-isu pluralisme dan kebebasan sipil.
4. Viktimisasi korban
Alih-alih bersolidaritas dan membangun gerakan bersama ketika ada kelompok minoritas lain menjadi korban persekusi, sebagian kelompok dalam Kristen justru turut mempersalahkan korban persekusi. Ini sering terjadi dalam kasus di mana gereja yang menjadi korban bukan berasal dari denominasinya, atau kelompok yang menjadi korban bukan kelompok Kristen sendiri.
Dalam bentuk yang lain, misalnya kasus HKBP versus Parmalim bahkan menunjukkan kondisi lebih ekstrem: bahwa ketika satu kelompok yang di tempat lain menjadi korban karena minoritas, di tempat lain ia bisa berpotensi menjadi pelaku persekusi dan penindasan terhadap kelompok lain yang “lebih minoritas”.
5. Dialog antar-agama yang normatif dan melangit
Titik temu dan dialog antar agama sejauh ini masih menjadi konsumsi kalangan tertentu dan terbatas. Jika bukan dialog yang nuansanya politis, kesepahaman antar agama sering kali hanya menyentuh kalangan elite agama saja, tidak menjadi agenda publik sampai ke tingkat grassroot.
Di sisi lain, dialog antar agama selama ini juga hanya menyentuh permukaan saja. Kebanyakan fokus pada “mencari persamaan” antar agama. Persamaan universal yang dalam bahasa Islam disebur sebagai kalimatun sawa’ ini pada level tertentu memang berguna untuk menyemai komunikasi dan kerjasama antar agama. Konsekuensi dari metode ini adalah menyimpan atau menyembunyikan perbedaan yang ada. Dalam beberapa kasus yang lebih serius, menyembunyikan perbedaan adalah berarti menyembunyikan potensi konflik, yang jika dipicu keluar akan mewujud prejudice, prasangka, dan kebencian. Fakta konflik antar agama mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan yang disembunyikan seringkali muncul ke permukaan dalam wajah garangnya, mengalahkan persamaan yang sudah dipupuk.[]
*Tulisan ini adalah sebagian kecil dari presentasi pada acara Asosiasi Teolog Indonesia di Makassar, 25 November 2012
03 Senin Sep 2012
Posted Indonesiana, Islam, Kebebasan Beragama, Menulis
inSurat Cinta untuk Pak Mahfud MD
Pak Mahfud MD, Ketua MK yang saya banggakan.
Sebagai warga negara yang peduli kedamaian dan keadilan, saya menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pernyataan-pernyataan Anda yang bernas menanggapi penyerangan terhadap warga Syiah di Sampang, Madura. Sungguh, itu pernyataan tegas dan berani dari seorang negarawan untuk para kriminal yang telah merusak tatanan kedamaian di negeri ini, di tengah komentar para pejabat publik lain yang serba tak jelas dan simplifikatif.
Melalui surat ini saya hanya hendak mengingatkan bahwa di antara faktor sosiologis, ekonomi-politis, persoalan keluarga, dan lain sebagainya yang melatari kasus pembakaran dan pembunuhan warga Syiah tersebut, ada faktor signifikan yang selalu mengingatkan saya kepada peran Anda sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi: yakni masalah penodaan agama.
Sebagai salah seorang yang mengikuti secara detail proses pengajuan Judicial Review UU PNPS No.1/1965, saya ingin mengembalikan memori Anda, dan siapa pun yang membaca surat ini, bahwa terminologi “penodaan agama” muncul dari UU tersebut.
Dikurangi dissenting opinion dari Prof. Dr. Maria Farida, salah satu Hakim Konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menolak apa yang dituntutkan oleh para pengaju judicial review.
MK memang sudah berhati-hati dalam memutuskan hal tersebut, karena sesungguhnya yang diputuskan bukan sekadar menolak (mentah-mentah), namun menolak dengan beberapa catatan penting dan rekomendasi revisi kepada lembaga DPR yang memegang kewenangan legislasi.
Mungkin bagi Anda, dan hakim-hakim konstitusi lainnya, keputusan itu sudah sangat benar, argumentatif, dan sesuai konstitusi. Meskipun tentu saja pihak pengaju juga sudah secara substansial mengacu kepada argumen hukum konstitusional. Perdebatan hukum dan adu argumentasi dari banyak pihak yang sangat produktif dalam proses judicial review itu juga sudah digelar dengan ingar bingar dan sangat berkualitas.
Tapi kali ini saya ingin mengajak Anda melihatnya pada konteks implikasinya, dan mencoba mengetuk perasaan kemanusiaan Anda, dengan perspektif korban, atau calon korban.
Bagi banyak orang, terutama kalangan yang menolak judicial review tersebut, apa yang saya sebut di atas sebagai “catatan penting” dan “rekomendasi revisi” dianggap tidak ada. Meski kemudian ada perdebatan lanjut tentang RUU KUB yang saat ini juga perlahan mengabur, mereka mengantongi satu hal: bahwa label “penodaan agama” bukan saja masih bisa digunakan untuk menghakimi kelompok lain yang dianggap sesat, tapi bahkan lebih mendapatkan justifikasi dari keputusan MK tersebut.
Dus, kita lihat implikasinya di lapangan: SKB Ahmadiyah diproduksi, menyusul kemudian puluhan Perda-Perda dan SK pemerintah daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah secara membabi buta, lalu muncul (lagi) kasus Syiah dengan logika yang sama: penodaan agama.
Pun tidak terlihat niat baik pengelola negara ini untuk melihat implikasi ini sebagai ancaman serius kehidupan bernegara.
Saya sendiri sejauh ini masih yakin, karena kelemahan mendasar rumusannya, UU PNPS ini di lapangan banyak ditafsirkan sebagai pengkelasan warga negara. Ada yang lebih superior karena agama dan keyakinan yang dipeluknya, dan dengan itu ada kelompok lain yang bisa dinegasikan hak-haknya karena pilihan agama dan keyakinannya. Fakta bahwa negara hanya memfasilitasi beberapa kelompok “agama resmi” juga menunjukkan secara gamblang pengkelasan itu.
Pak Mahfud MD, Ketua MK yang saya banggakan.
Sebagaimana telah disebut, tentu saja kasus Sampang ini tidak bisa dilihat dari satu faktor penodaan agama ini saja. Tapi faktor sensitif inilah yang menjadi bensin yang mampu membakar emosi massa secara luar biasa. Ditambah, di lapangan, beberapa tokoh agama, bahkan beberapa pejabat publik lokal turut andil langsung mengemas kasus Sampang dalam kerangka faktor ini.
Sekadar contoh adalah fatwa MUI Jawa Timur tentang kesesatan Syiah dan beberapa lontaran pernyataan Bupati Sampang yang secara tegas menolak “aliran sesat” masuk ke Sampang.
Sebenarnya, banyak kalangan juga sudah terlalu sering menyatakan kepada publik, kepada para pengelola negara, bahwa penyelesaian pemerintah selama ini terhadap kasus Ahmadiyah, kasus Eden, dan kasus-kasus berjudul “penodaan agama” akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Lebih jauh lagi, akan menjadi catatan buruk terhadap proses demokratisasi di Indonesia.
Rekomendasi resmi Komnas HAM dalam banyak kasus serupa juga secara jelas menyebut indikator-indikator kebencian dan logika penyesatan oleh kelompok satu terhadap kelompok lain.
Namun, di luar fakta-fakta terang benderang bahwa terjadi pembiaran oleh aparat negara dalam kasus-kasus sejenis ini, pemerintah seakan tidak menaruh perhatian serius terhadap pelabelan penodaan agama ini, untuk tidak mengatakan malah berpihak kepada kelompok dominan yang dengan mudah melakukan stigma terhadap kelompok lain yang berbeda, tak peduli apakah mereka memenuhi unsur “menodai” atau tidak secara definisi hukum. Atau juga, apakah memang ada rumusan hukum yang tepat untuk kata “menodai” atau tidak.
Hasilnya, status menodai agama menjadi semacam penyakit kusta yang lalu menghalalkan orang untuk memusuhi, mengusir, dan bahkan membunuh sang penoda. Disadari atau tidak, status inilah yang kini menempel pada pengungsi Ahmadiyah di Lombok, korban Cikeusik, dan korban Sampang.
Pak Mahfud MD, Ketua MK yang saya banggakan.
Saya tak hendak menyalahkan Anda dalam kasus ini. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa di negeri gemah ripah loh jinawi ini, kita masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat krusial. Jika hal ini selalu dan selalu diabaikan, bukan tidak mungkin peradaban negeri ini akan mundur jauh ke belakang, ke abad pertengahan, bahkan kegelapan.
Fakta intoleransi di pelupuk mata kita yang selalu dibantah oleh para pejabat publik negeri ini membutuhkan perhatian lebih dari kita semua. Dan tentu saja Anda.
Surat ini adalah sebentuk cinta saya kepada Anda, sebagai salah satu pemegang suara dan kuasa di negeri indah ini. Semoga Anda juga tidak lupa bahwa hanya Allah-lah yang berhak menghakimi keyakinan seseorang.
Dimuat di: Beritasatu.com