Mengawetkan Agama

Tag

Konon, pada tahun 1960-1970an, para intelektual dunia ramai-ramai membangun tesis bahwa pada saatnya nanti, agama tak akan laku lagi. Manusia semakin tak punya alasan yang cukup rasional untuk memeluk agama.

Tesis ini diamini banyak orang, hingga kemudian Pippa Norris dan Ronald Inglehart mengukurnya melalui analisis data survei yang ketat.

Mereka menganalisis data tentang tren agama di 49 negara selama periode 1981-2007. Hasilnya, di 33 dari 49 negara itu, orang menjadi lebih religius selama tahun-tahun itu. Hal ini berlaku di sebagian besar negara bekas komunis, di sebagian besar negara berkembang, dan bahkan di sejumlah negara berpenghasilan tinggi. Temuan kami memperjelas bahwa industrialisasi dan penyebaran pengetahuan ilmiah tidak menyebabkan agama menghilang, seperti yang pernah diasumsikan beberapa sarjana.

Namun sejak 2007, banyak hal telah berubah dengan kecepatan yang mengejutkan. Dari sekitar 2007 hingga 2019, sebagian besar negara yang tersebut—43 dari 49—menjadi kurang religius. Penurunan kepercayaan tidak terbatas pada negara-negara berpenghasilan tinggi dan muncul di sebagian besar dunia. Semakin banyak orang tidak lagi menganggap agama sebagai sumber dukungan dan makna yang diperlukan dalam hidup mereka.

Bahkan Amerika Serikat—yang telah lama dikutip sebagai bukti bahwa masyarakat yang maju secara ekonomi bisa menjadi sangat religius—kini telah bergabung dengan negara-negara kaya lainnya untuk menjauh dari agama. (Inglehart, “Giving up on God: The Global Decline of Religion,” 2021).

Dan Denny JA menangkap pasang surut agama ini dengan berbagai analisisnya yang juga sangat kaya dan berbasis data akademik, yang oleh Ahmad Gaus disebutnya sebagai “iman berbasis riset.” Denny berpandangan bahwa agama pun tunduk pada hukum perubahan. Agama-agama akan bertahan kalau mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan. Begitu juga iman. Ia harus berbasis pada riset, jika hendak bertahan.

Orang beriman saat ini dapat mengecek sistem keimanan mereka dengan temuan-temuan terbaru di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika sistem keimanan itu masih memadai dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka ia akan dipertahankan. Tapi jika tidak, maka ia akan ditinggalkan.

Riset-riset mutakhir memang menunjukkan kecenderungan semakin melemahnya peran dan pengaruh agama dalam kehidupan manusia modern.

Menurut Denny, di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah. Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh World Happines Index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiosity index). Kabar buruk juga terlihat dari hubungan agama dengan tingkat korupsi. Di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup. Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya justru tingkat korupsi di pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan The Corruption Perception Index).

Denny JA juga mengutip hasil riset oleh University of Rochester yang secara khusus mengukur hubungan antara tingkat IQ dan agama. Di situ disebutkan bahwa masyarakat yang tingkat beragamanya tinggi memiliki kecerdasan rata-rata (Cognitive Test Measurement) lebih rendah dibandingkan masyarakat yang tingkat beragamanya lebih rendah.

Apa Yang Awet dari Agama?

Dalam melihat agama, Denny JA melakukannya dengan dua pendekatan. Pertama, melihat agama sebagai insituti yang cenderung menjadikan ajarannya sebagai sejenis konstitusi ruang publik yang memaksa orang dengan tafsir tertentu. Wujud agama ini lebih nampak institusional daripada substantif, kerena ini seringkali disebut sebagai organized religion yang cenderung kaku dan dogmatis. Klaim kebenaran dan keselamatan menjadi salahh satu elemen penting dalam agama sejenis ini.

Agama jenis inilah yang kemudian secara perlahan ditinggalkan penganutnya. Dari 4.300 jenis agama yang pernah lahir di dunia, banyak di antaranya yang sudah tinggal nama alias tidak memiliki penganut. Agama menjadi tidak relevan karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.

Meski agama memiliki kekenyalan daya tahannya sendiri, namun tren yang ditemukan oleh Norris dan Inglehart menemukan relevansinya dalam konteks seperti ini.

Lalu apa yang bisa diawetkan dari agama? Denny menawarkan pendekatan berikutnya, yakni melihat agama sebagai warisan kultural milik bersama. Masing-masing agama memiliki harta karunnya sendiri yang sangat kaya.

Bagi Denny, peradaban manusia saat ini sudah sampai di titik kematangannya. Manusia yang berbeda agama, negara, dan bahasa kini berinteraksi secara sangat intens. Sejalan dengan kemenangan ide-ide mengenai demokrasi dan kebebasan, prinsip hak asasi manusia kini membuat homo sapiens itu setara dan bebas memilih keyakinannya. Pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan dan terus berevolusi.

Keberagaman tak tehindarkan. Kita adalah homo sapiens yang sama, menempati bumi yang sama. Persamaan kita jauh lebih dalam, lebih asli, ketimbang segala perbedaan. Karena itu bagi Denny, ini adalah saatnya bersama kita kembangkan narasi besar yang baru: Satu Bumi. Satu Homo Sapiens. Satu Spiritualitas.

Inilah yang kemudian disebutnya sebagai spiritualitas baru abad 21. Spiritualitas baru ini baginya adalah narasi besar agama gelombang ketiga.

Dalam bacaan Denny, narasi besar gelombang pertama agama memberikan panduan berdasarkan mitologi. Narasi besar gelombang kedua memberi panduan lewat otoritas wahyu. Sedangkan narasi besar gelombang ketiga memberi panduan berdasarkan riset empirik. Spiritualitas baru ini lahir dari hasil riset ilmu pengetahuan. Tentu spiritualitas baru tak pernah berbicara tentang dunia metafisik, seperti apakah surga dan neraka itu ada atau tidak. Itu adalah wilayah narasi besar gelombang satu dan dua. Spiritualitas baru membatasi diri hanya memberi panduan hidup bermakna, bahagia, berbuat kebaikan yang semuanya semata hasil riset empirik. Tak ada panduan spiritualitas baru tanpa dihasilkan dan terbukti dari hasil riset akademik.

Bagaimana dengan perayaan-perayaan agama? Bagi Denny, dalam spiritualitas baru ini, segala kekayaan agama bisa dianggap sebagai kekayaan kultural milik bersama. Dan gejala ke arah ini sudah mulai terlihat.

Saat ini perayaan Natal tidak hanya dirayakan oleh umat Kristiani tapi juga oleh umat agama lain, termasuk umat Islam. Bahkan kaum ateis, dan mereka yang tidak percaya Yesus lahir pada 25 Desember, ikut pula merayakan Natal, dan menghias rumah mereka dengan pernak-pernik Natal. Kaum muslim di Eropa juga merayakan Natal dengan mengundang umat Kristen ke rumah mereka. Begitu juga dengan Ramadan dan Idulfitri. Perayaan berbasis ajaran Islam ini juga dirayakan oleh banyak sekali penganut agama lain. Demikian pula yang terjadi di India, di mana perayaan ritus berbasis Hindu dilakukan oleh berbagai kalangan agama.

Spiritualitas baru ini diasumsikan tidak akan mampu menggantikan agama, mengingat agama selalu mengandung unsur metafisis yang tak terbantahkan. Justru spiritualitas baru ini mendorong kehidupan publik yang lebih harmonis, tanpa menghilangkan peran agama bagi individu-individu penganutnya. Spiritualitas baru ini mengawetkan elemen-elemen yang tetap relevan dalam agama, dan perlahan membuang cara beragama yang usang dan eksklusif.

Tentang Buku Ini

Pemikiran Denny JA tentang agama tersebar dalam sejumlah buku, dan ditulis dengan beberapa konteks yang berbeda. Pemikiran-pemikiran itu sebenarnya tak terlalu runut, namun Ahmad Gaus berhasil menstrukturisasi keseluruhan pemikiran itu dan mengkategorisasinya dalam “Sembilan Pemikian Denny JA tentang Agama.” Gaus berhasil memotret konsistensi cara berpikir dan refleksi perjalanan spitual Denny JA sehingga menghasilkan serangkai pemikiran ini.

Tentu saja, melihat produktivitas dan konsistensi Denny JA dalam memutakhirkan informasi, pemikiran Denny JA tidak akan berhenti sampai di sini. Namun setidaknya, melalui buku Ahmad Gaus tersebut, tergambar jelas hasil permenungan yang mendalam dan sangat reflektif dari perjalanan Denny JA sampai hari ini dalam melihat agama sebagai fenomena sosial, pengaruhnya terhadap tata kelola dunia, serta elemen-elemen spiritualitas dalam perjalanan manusia. Tak kalah penting, Denny memaknainya dengan sudut pandang yang sangat kaya dan menarik.

Nah, buku Ahmad Gaus berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama” itulah yang kemudian ditanggapi para ahli dan penulis dalam buku di hadapan Anda ini.

Buku ini adalah kumpulan tanggapan terhadap pemikiran Denny JA yang distrukturisasi oleh Gaus tersebut.

Sebagai editor, saya sengaja mengundang penulis dan ahli dengan berbagai latar belakang agama maupun kecenderungan concern akademis. Jadilah buku ini sangat kaya perspektif dan sangat mencerahkan.

Apresiasi yang muncul dari berbagai perspektif agama terhadap pemikiran Denny JA ini menunjukkan bahwa pada dasarnya elemen substansial agama memang mengandung sesuatu yang bisa dilihat dengan cara pandang yang berbeda, yang lebih inklusif, universal, sekaligus kultural. Juga bahwa tradisi riset-riset akademis yang dirujuk Denny dalam melihat peran agama di era saat ini terlalu kuat untuk terbantahkan.

Ada beberapa catatan kritis juga dalam beberapa tulisan ini yang sangat layak untuk dipertimbangkan tentang analisis Denny JA. Juga terhadap cara Denny JA memosisikan sains dan agama yang memang sampai hari ini masih menjadi polemik tak berujung. []

* Ini adalah pengantar Editor untuk buku berjudul “Agama di Era Google”.

Buku “Agama di Era Google” bisa diunduh di sini, dan buku Ahmad Gaus “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama” bisa diunduh di sini.

Agama untuk Apa?      

~Script Narasi Video~

Bumi ini disediakan oleh Sang Maha Pencipta untuk semua manusia.

Setiap manusia memiliki hak yang sama pula untuk menghuni dan memanfaatkannya.

Keragaman suku, budaya, dan tradisi adalah kekayaan yang diciptakan pula oleh Tuhan. Juga agama.

Keragaman itu ada untuk mendorong integrasi sosial, bukan untuk memecah belah.

Karena itu…

Toleransi dan penghargaan terhadap orang lain adalah pilihan sikap terbaik dalam kehidupan beragama di tengah keragaman tersebut.

Dan misi utama agama adalah terwujudnya kehidupan rukun, damai, sejahtera bagi manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.

Komunitas dan kelompok agama menempati posisi strategis dan peran penting dalam kehidupan berbangsa.

Komunitas agama adalah modal sosial yang harus didorong untuk berperan aktif dalam pemajuan kehidupan sosial masyarakat.

Dan karena itu, mereka harus peduli dengan masalah sosial di luar isu-isu agama.

Sila cek videonya

Gerakan Reformasi dan Nyawa-nyawa yang Melayang

Tag

, , ,

Gerakan reformasi adalah momentum penting perjalanan peradaban bangsa dari era otoritarianisme yang serba gelap menuju era demokrasi yang menjanjikan harapan perubahan ke arah yang lebih memanusiakan warganya.

Namun, momen gerakan reformasi tak hanya berisi kisah kepahlawanan para mahasiswa pejuang. Ia juga menjadi titik sejarah yang memunculkan betoro kolo dan meruyak hidup dan kehidupan banyak orang, merenggut banyak nyawa. Tak bisa dibayangkan, seperti yang disebut dalam hasil riset Yayasan Denny JA untuk Indonesia tanpa Diskriminasi, dari tahun 1998-2011, selama 14 tahun, terjadi 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi di Indonesia.

Mungkin sebagian besar kasus itu terkubur oleh waktu, dan tak dialami langsung oleh generasi dominan saat ini. Sebagian tanpa penyelesaian tuntas dan menggantungkan misteri. Sebagian lain masih menyisakan trauma berkepanjangan. Sebagian lain bahkan masih terjadi dan menjadi pilihan cara menyelesaikan masalah di antara sesama.

Denny JA merekam lima jenis konflik dan kerusuhan yang dianggap paling krusial dalam perjalanan era reformasi, yakni: Kerusuhan Rasial Jakarta, Mei 1998; Kerusuhan Sampit 2001, Suku Dayak Versus Suku Madura; Konflik Etnis Lampung VS Etnis Bali, 2012; Kasus Ahmadiyah di NTB, 2006-2022; dan Konflik Maluku, 1999-2002 Rekaman ini berupada 25 kisah dramatik yang ditulis dalam bentuk puisi esai, Jeritan Setelah Kebebasan.

Lima jenis konflik dan kerusuhan yang menandai salah satu puncak terbawah sejarah Indonesia itu nampak sangat menyakitkan, bahkan untuk sekadar diceritakan kepada anak cucu. Ichsan Malik, seorang fasilitator perdamaian yang terlibat langsung dalam berbagai konflik, bahkan menuturkan, setelah membaca buku Jeritan Setelah Kebebasan ini, sontak bereaksi: “…mulut agak terasa pahit, dada terasa agak sesak, dan kepala agak berdenyut-denyut.” (Kedamaian Setelah Jeritan dan Kebebasan).

Lalu mengapa Denny JA mengangkatnya menjadi tema dari 25 puisi esai yang dibukukan dalam Jeritan Setelah Kebebasan? Mengapa kisah tragis dan penuh kengerian ini harus diangkat lagi ke permukaan?

Denny JA memiliki jawabannya sendiri. Baginya, kisah-kisah yang telah mengorbankan lebih dari 10.000 nyawa manusia Indonesia itu terlalu kelam untuk dikenang, namun terlalu penting untuk dilupakan. Yang terpenting adalah, bagaimana kita bisa mengolah peristiwa itu menjadi pelajaran berharga?

Ia menolak lupa. Menolak menganggap bahwa peristiwa-peristiwa mengerikan itu tak pernah terjadi di bumi indah ini. Menolak untuk mengabaikan bahwa kemajuan peradaban kita hari ini tak lepas dari pengorbanan nyawa-nyawa itu.

Baginya, melupakan berbagai tragedi itu berarti membuang peluang untuk mengambil pelajaran berharga bagi peradaban bangsa ini. Menutupi sejarah kelam berarti justru menyia-nyiakan pengorbanan mereka-mereka yang tak seharusnya kehilangan nyawa.

Tak ada alasan apa pun yang bisa dijadikan dasar penghilangan nyawa manusia. Karena itu, tak ada alasan pula untuk tidak mengambil pelajaran dari nyawa-nyawa yang hilang tersebut.

Bagaimana Denny JA mengemasnya menjadi pelajaran bagi kita?

Ia memiliki senjata penting bernama puisi esai. Seperti disebutnya, puisi esai menjadi cara bertutur baru dalam mendokumentasikan kisah true story itu. Fakta-fakta mengerikan itu. Berbeda dengan penulisan sejarah atau jurnalisme, puisi esai menambahkan drama dan fiksi. Gabungan dari olah fakta dan fiksi dramatik memungkinkannya menyajikan catatan sejarah dan sekaligus menghadirkan narasi pembelajaran penting dari sejarah tersebut.

Mengapa diperlukan fiksi untuk mengisahkan true story? Bagi Denny, sepotong sejarah akan lebih mudah diingat, lebih menyentuh jika dikisahkan melalui drama yang menyentuh.

Racikan inilah yang menurut Isbedy Stiawan ZS menjadi kekuatan buku ini. Denny JA “seperti memiliki ‘100 mata’ untuk melihat, mengamati, sekaligus menentukan sudut yang pas untuk menulis kisah-kisah dramatik tersebut.” (‘Konflik Balinuraga’ dalam Puisi Esai Denny JA).

Konflik dan kerusuhan itu adalah pengalaman traumatik, bukan hanya bagi korban, namun juga bagi aktor dan pelaku. Setelah sekian lama berjarak dengan peristiwanya, setelah terbangun kesadaran kolektif bahwa konflik tak menghasilkan apa-apa selain kehancuran, banyak pelaku yang kemudian justru tersiksa, dihantui rasa bersalah berkepanjangan.

Inilah yang disebut oleh Jacky Manuputty dalam buku ini sebagai titik balik. Syair-syair Denny JA menawarkan pendekatan yang utuh dengan memotret proses transformasi aktor dari konflik ke perdamaian. Kisah-kisah titik balik adalah bentuk narasi damai yang inspiratif, memiliki dampak dan daya tarik yang sama dengan drama konflik.” (Biarlah Rebana dan Totobuang Kembali Bersanding).

Dalam jarak waktu yang cukup jauh sekarang ini, kita pelan-pelan menyadari bahwa para korban di era reformasi itu tidak tahu apa yang membuat mereka dibunuh, diperkosa. Apa yang menyebabkan rumah-rumah mereka dirusak tanpa belas kasihan. Tak ada satupun alasan yang bisa diterima akal mengapa di negeri yang damai ini, kemarahan dan kebencian bisa tiba-tiba merasuki manusia-manusia beradab.

Begitu juga dengan para aktor dan pelaku yang merusak, memperkosa, dan membunuh sesamanya. Banyak dari mereka tidak benar-benar menyadari atas alasan apa mereka melakukan itu semua. Atas dasar apa mereka memiliki kewenangan untuk menghilangkan nyawa manusia lain.

Buku di hadapan Anda ini adalah kumpulan tanggapan langsung terhadap 25 kisah dramatik dalam bentuk puisi esai yang ditulis oleh Denny JA. Para penulis buku ini merepresentasikan berbagai sudut pandang yang diharapkan memperkaya pembaca, yang terlibat maupun tidak terlibat langsung dengan konflik dan kerusuhan yang dialami bangsa ini.

Mengutip Anis Hidayah dalam buku ini (Luka yang Terus Menganga), Buku ini bukan sekadar karya sastra. Ketika sejarawan tak mampu mengeja peristiwa kelam pelanggaran HAM, buku ini hadir sebagai referensi untuk mengisi rumpang sejarah yang pernah terjadi. Sehingga buku ini penting untuk dibaca, terutama generasi muda yang lahir pasca 1998. Kisah-kisah yang ada dalam buku esai puisi dengan latar 5 tragedi pelanggaran HAM di Indonesia ini ditulis seakan bernyawa. Pesan-pesan tentang impunitas, trauma para korban, dan lemahnya perlindungan negara sangat kuat dalam buku ini.“

Buku ini sekaligus adalah upaya kecil untuk merawat memori, lalu mengambil pelajaran berharga dari apa pun yang telah mewarnai perjalanan bangsa yang besar ini. Bahwa nyawa-nyawa yang telah melayang itu tak boleh menjadi sia-sia.[]

Tulisan ini adalah Pengantar Editor untuk buku tanggapan terhadap buku puisi esai Denny JA: Jeritan Setelah Kebebasan.

Dimuat juga di: Inilampung

Wahhabi, Sufisme, dan Penghancuran Budaya

Tag

,

Jika Anda termasuk orang yang percaya bahwa sufisme dan ajarannya adalah pemaknaan yang benar terhadap Islam, sudah bisa dipastikan Anda bukan pengikut Wahhabi. Jika Anda adalah orang yang percaya bahwa salah satu pencapaian kecintaan Anda kepada Allah adalah melalui jalan tarekat, Anda harus tahu bahwa ada satu kelompok strategis dalam Islam yang selalu memusuhi apa yang Anda percayai. Bagi mereka, tradisi yang dikembangan oleh sufisme dan tarekat penuh dengan kesyirikan.

Jika Anda percaya bahwa Islam pada prakteknya harus berkawan dengan tradisi, sudah pasti Anda juga bukan penganut Wahhabisme. Apalagi jika Anda termasuk orang yang percaya, ada jalan perantara yang harus ditempuh untuk melakukan relasi kepada Allah, sudah barang tentu kelompok tersebut akan memusuhi Anda dengan jargon bid’ah dan syiriknya.

Dan kelompok ini bukan kelompok pasif. Meski lahir dari kelompok pinggiran, Wahhabisme berhasil membangun aliansi strategis dengan Ibn Sa’ud yang kemudian dalam sejarahnya berhasil membangun kekuatan dan mendirikan Saudi Arabia.

Hingga kini, intrusi ideologi ke berbagai penjuru dunia dilakukan, sebagai bagian dari misi mengambalikan Islam sebagaimana mestinya. Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri merasa bahwa apa yang diyakini oleh umat Islam selama 900 tahun sebelumnya adalah ajaran yang salah, karena itu perlu diluruskan. Konsekuensi pelurusan inilah yang kemudian menghalalkan perampasan, penjarahan, pembunuhan, dan penghancuran. Bagi mereka, selain penganut Wahhabi adalah kaum musyrik, dan memerangi mereka bukan saja boleh, melainkan wajib. Karena itu, menumpahkan darah mereka, menjarah harta mereka dan menjadikan perempuan dan anak-anak mereka sebagai budak adalah tindakan yang dibenarkan.

Itulah yang mereka lakukan di Karbala tahun 1802 dan di Thaif 1803.

Bersama dengan penaklukannya terhadap Makkah dan Madinah pada 1806, mulai pula proyek penghancuran terhadap situs-situs bersejarah umat Islam, termasuk makam para keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW. Apa yang dilakukan mereka? Saya kutipkan sedikit dari buku Hamid Algar ini:

“Di Mekkah, kubah yang terdapat di atas rumah-rumah yang dikenal sebagai tempat kelahiran Nabi, Khadijah al-Kubra, Imam ‘Ali, dan Abu Bakr al-Shiddiq, dihancurkan. Selain itu, makam-makam dan mushalla-mushalla yang terdapat di tempat pemakaman bersejarah al-Ma‘la diratakan dengan tanah. Di Madinah, aset-aset yang terdapat di Masjid Nabi dijarah, namun upaya untuk menghancurkan kubah yang menaungi makam Nabi tidak dilakukan tatkala secara misterius beberapa orang yang ditugasi untuk melakukan penghancuran itu terjatuh hingga mati.

Namun, seluruh bangunan dan nisan di lokasi pemakaman yang dikenal sebagai Jannah al-Baqi‘, yang terhubung dengan Masjid Nabi, dihancurkan. Di sana terdapat makam para istri dan sahabat Nabi, beberapa Imam Ahl al-Bayt, dan beberapa tokoh dalam sejarah intelektual dan spiritual Islam.“

Itu pula yang terjadi ketika untuk kedua kalinya kelompok ini berhasil menaklukkan kembali Makkah dan Madinah di tahun 1924-1925. Di tahun 1926, tercatat tak kurang 7.000 makam dihancurkan, termasuk makam keluarga dan sahabat Nabi. Saat itu makam Nabi Muhammad sendiri juga terancam dihancurkan. Makam Nabi terselamatkan oleh protes besar dari muslim di banyak negara di dunia. Inilah yang juga memunculkan respons penting dari para ulama Indonesia yang membuat Komite Hijaz, komite khusus yang dikirim ke Makkah untuk melakukan lobi dengan beberapa agenda terkait kepentingan umat Islam di luar kelompok Wahhabi, termasuk soal tempat-tempat bersejarah.

Dalam buku ini juga diungkap tindakan-tindakan perusakan atau vandalisme yang dilakukan kaum Wahhabi terhadap monumen-monumen Islam di Kosovo, Chechnya, dan Hadramaut. Hingga hari ini, kitapun masih mendengar bahwa proyek penghancuran “situs-situs pengundang kesyirikan” masih terus berlanjut dan memunculkan keprihatinan kaum muslim di berbagai belahan dunia.

Buku ini merekam perjalanan Wahhabisme, sejak kelahiran pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab, hingga berakhirnya rezim Taliban, rezim yang terkait dengan gerakan Wahhabisme. Buku ini ditulis dengan nada kritis, meskipun penulisnya membeberkan fakta-fakta sejarah yang relatif objektif. Algar sendiri mengakui ketidaksukaannya terhadap ideologi dan gerakan Wahhabisme.

Meski buku ini sangat tipis, namun ia memotret perjalanan kronologis wahhabisme secara lengkap dan menarik, termasuk potensi konflik internal dalam aliansi Wahhabi-Saudi, sejarah relasi kelompok ini dengan pemerintah Inggris, pembentukan Liga Dunia Muslim sebagai bagian dari agenda penyebaran ideologi wahhabisme, dan legitimasi mereka terhadap pengeboman WTC di New York.[]

Anick HT

== 

Judul: Wahhabisme; Sebuah Tinjauan Kritis

Penulis: Hamid Algar

Penerjemah: Rudy Harisyah Alam

Dicetak pertama kali dalam versi Inggris tahun 2002. Edisi cetak Bahasa Indonesia oleh Yayasan Paramadina, 2008. Edisi digital dibuat oleh Democracy Project, 2011.