-Sebuah Gugatan-

Lainnya..

(sebuah gugatan)

Permisa. Bayangkan: Anda adalah bagian dari satu kelas Sekolah Dasar, lalu Sang Guru mengabsen nama masing-masing murid, namun ketika tiba giliran Anda dan beberapa orang lainnya, Sang Guru memanggil kelompok kecil ini dengan “Lainnya”. Dan semacam ada kesepahaman, perlakuan itu tak hanya Anda terima dari guru SD. Guru SMP, SMU, bahkan dosen Anda di universitas juga melakukan hal yang sama. Apa yang Anda rasakan?

Beberapa hari lalu saya menerima kiriman sebuah ebook berjudul Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan 2018 yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Di dalamnya berisi data dan analisis perkembangan kehidupan keagamaan selama tahun 2018 yang secara umum berorientasi keagamaan secara toleran dan moderat. Dan tentu saja, pada tingkat detail, banyak yang masih bisa diperdebatkan perspeektif dan posisioningnya.

Namun bukan itu yang saya mau gugat di sini.

Tahukah Anda, di tengah spirit revolusi mental dan upaya membereskan cara pandang negara terhadap kesetaraan antar entitas masyarakat, terutama yang berbasis agama dan kepercayaan, kita masih melanggengkan diskriminasi legal yang, saking akutnya, dianggap wajar saja?

Lihatlah data tabel yang saya sertakan ini. Data BPS 2010 yang dikutip ini adalah data sensus, bukan data survei. Sensus mengasumsikan data rinci semua penduduk Indonesia, tanpa terkecuali. Bukan responden acak yang dianggap mewakili keseluruhan.

Jika Anda menganggap wajar data dalam tabel ini, itu karena Anda adalah bagian dari murid yang disebutkan namanya. Dan karena puluhan tahun tabel penduduk Indonesia ya seperti ini, maka kita cenderung menganggap tidak ada masalah.

Namun jika Anda adalah bagian dari 0,5 % yang berjumlah 1.196.317 orang yang sekadar dimasukkan kategori “Lainnya”, mungkin rasanya akan berbeda. Bahkan jumlah ini 10 kali lebih banyak daripada jumlah umat Konghucu yang hanya 0,05%.

Siapakah mereka yang tak beridentitas itu? Apakah mereka bukan orang beragama? Atau memang mereka beragama Lainnya?

Saya memiliki teman orang Indonesia beragama Sikh, Bahai, Yahudi, Kapribaden, Kaharingan, Sunda Wiwitan, Tolotang, Sapta Darma… yang memang merasa tidak memeluk salah satu dari enam agama yang disebutkan dengan jelas identitasnya itu.

Apakah mereka tidak berhak disebut identitasnya? Ataukah memang mereka tak berhak hidup di negeri ini, meskipun sebagian identitas itu sudah ada bahkan sebelum negara ini dilahirkan?

Come on Mr. Presiden, Mr. Menteri Agama, Mr. Kepala BPS… Mereka warga Indonesia yang sah. Mereka memiliki hak konstitusional yang (seharusnya) sama dengan pemeluk agama lain…

Anick HT