Jika provokasi adalah keberanian berkata tidak terhadap kezaliman di depan mata, saya harus menyatakan rasa salut saya kepada para provokator.

Ketika saya melangkahkan kaki saya melewati kerumunan massa FPI menuju kursi saksi persidangan, beberapa orang dalam kerumunan itu berteriak tertahan “majnun, majnun”. Saya meragu. Dalam sekian detik, di kepala saya sudah terumuskan dua jawaban “La ya’rifu majnun illa majnun”, dan “Laisa al-majnun illa biidznillah”. Tapi rumusan itu tak kunjung keluar dari mulut saya.

Jika provokasi adalah menyuarakan yang haq tanpa kekerasan di tengah kesemenaan yang haus darah, sebutlah kami provokator.

Ketika Istiqomah didesak, diusir dari tempat duduknya di ruang pengunjung sidang, ditarik, dihentakkan, lalu dijambak rambutnya oleh sekelompok orang yang merasa benar sendiri dan berkuasa melakukan apa saja. Ketika Nong Darol Mahmada memprotes kepada polisi yang bertugas betapa para tersangka berkeliaran dengan bebasnya di luar ruang sidang, sementara seharusnya mereka ada dalam kawalan petugas. Ketika Guntur berteriak kepada Ketua Majlis Sidang bahwa dia ditendang kakinya dan dipukul oleh salah seorang tersangka. Ketika Ibu Musdah Mulia tetap duduk tepekur sementara dengan suara membahana kelompok mayoritas di ruang sidang berteriak-teriak “Yang tidak berdiri berarti bukan muslim”. Maka sebutlah mereka provokator.

Jika provokasi adalah menyuarakan aspirasi damai di tengah ancaman tirani intoleran yang tak terkendali, saya bangga menjadi bagian dari provokator itu.

Ketika ribuan warga Ahmadiyah terancam di kampungnya sendiri, ditutup rumah ibadahnya, diberangus haknya beraktivitas, dicerabutpaksa dari keyakinan yang menuntunnya seumur hidupnya. Ketika jutaan kelompok beragama lokal dan minoritas distempel dengan label “sesat”, tak bisa mencantumkan agama yang diyakininya dalam KTP-nya sendiri, bahkan tak diakui perkawinan dan sistem kepercayaannya. Ketika seluruh yang berbeda disebut “kafir” dan “sesat”, dan karena itu statusnya adalah warga kelas dua. Maka saya malu menjadi bagian dari “mayoritas” itu.

Ternyata provokasi hanya milik kami.

Ketika setiap saksi di persidangan diteriaki “kafir”, “sesat”, “bunuh”, “berangus”. Ketika koor “Allahu akbar” dan kegaduhan selalu mewarnai ruang sidang. Ketika seoang warga NU yang lahir besar sebagai santri, bahkan kyai, dibentak “jangan bawa-bawa NU”, “kyai palsu”. Ketika seorang ulama besar yang mantan presiden diteriaki “gila” dan “bodoh”. Ketika jaksa dan polisi bahkan dibentak-bentak ketika melaksanakan tugas negara yang mereka emban. Maka jika itu kasusebut sebagai jihad, keluarkan saya dari barisan jihadmu.

Ternyata provokasi lebih buruk daripada kekerasan.

Ketika karena alasan telah melakukan provokasi orang menjadi sah untuk dipukul. Ketika anggapan sebagai provokator memposisikan seseorang sebagai “layak dihajar”. Ketika darah yang keluar dari seorang provokator adalah sah dan memang sudah seharusnya, di negara hukum ini. Ketika tongkat pemukul dan kelewang menjadi kata jawab dari sebuah syarat bernama provokasi itu. Maka disebut negara apa sesungguhnya Indonesia?

Betapa inginnya saya menjadi provokator. Betapa inginnya saya diberi keberanian oleh Tuhan seru sekalian alam untuk mengatakan sesuatu yang sudah terumuskan di kepala saya. Betapa inginnya saya mendapatkan energi untuk berkata “tidak” di depan tirani. Betapa inginnya saya menunjukkan bahwa kuasa kekerasan harus dilawan agar tak benar-benar melahirkan Hitler-Hitler baru.

Ah, saya terlalu takut dipukul. Terlalu takut disakiti kedirian saya. Saya memang pengecut, pecundang. Saya hanya mampu berterima kasih kepada para provokator itu.